Pulau Termasuk Kepemilikan Umum
Pendapatan daerah maupun negara yang seringkali defisit menjadi persoalan tersendiri di negeri ini. Besar pasak daripada tiang adalah peribahasa populer yang sering disematkan untuk kondisi APBD maupun APBN yang tak kunjung surplus. Ketika negara mengalami defisit, maka pemerintah dan masyarakat harus merasakan dampak buruknya.
Defisit anggaran yang terjadi di negeri ini disebabkan oleh kesalahan pengelolaan pada harta kepemilikan umum yang dibolehkan untuk diprivatisasi. Ini yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tidak terwujud.
Berapa banyak harta kepemilikan umum yang mencakup kekayaan tambang, minyak bumi, gas alam dan potensi-potensi SDA lainnya yang diprivatisasi oleh korporasi? Padahal aspek harta kepemilikan umum jumlahnya besar, jika dikumpulkan sangat strategis dijadikan sumber pendapatan negara dan berpeluang surplus sepanjang masa. Misalnya saja pendapatan pertambangan batu bara yang bisa mencapai Rp603,14 triliun pada 2021. Juga tambang emas Blok Wabu di Papua yang menyimpan potensi sumber daya 117.26 ton bijih emas, nilai potensi ini nyaris Rp300 triliun. Itu baru aspek pertambangan batu bara dan satu gunung emas, belum kekayaan alam lainnya seperti hutan, laut, dan tambang lainnya. Di Gorontalo saja terdapat tambang emas besar yang saat ini di eksplorasi, gunung emas Pani yang dikelola PT J Resources Asia Pasifik dan Sungai Mak yang dikelola oleh PT Bumi Resources Minerals. Sudah lebih dari cukup bahkan mampu untuk memenuhi anggaran APBN 2022 yang jumlahnya sebesar Rp 2.266,2 triliun.
Maka Islam sebagai agama sempurna telah menjelaskan segala hal, termasuk dalam aspek anggaran APBD ataupun APBN. Prinsip utamanya, pendapatan dan pengeluaran dalam APBN harus sesuai dengan syariah Islam dan memberikan kemaslahatan yang optimal bagi agama dan rakyat.
Sumber pendapatan APBN dalam Islam antara lain adalah harta anfal, ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, dan jizyah. Sumber lainnya adalah harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur dan harta sedekah/zakat.