JAKARTA, mediasulutgo.com — Rencana Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gorontalo untuk menerbitkan Peraturan Bupati (Perbup) yang akan mengatur salah satu syarat kemitraan perusahaan pers harus memenuhi kualifikasi terdaftar di Dewan Pers menuai sorotan dari sejumlah pihak.
Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Hence Mandagi mengatakan pemilik perusahaan pers dan wartawan yang bekerja di dalamnya adalah bagian dari masyarakat yang ikut membayar pajak dan menggaji kepala dinas dan bupati. “Jadi kebijakan pemerintah jangan sampai mencederai masyarakat dengan aturan yang diskriminatif,” tegasnya.
Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi, (1/11/2020), Mandagi mengatakan, kebijakan pembatasan kemitraan dengan menggunakan dasar verifikasi perusahaan pers di Dewan Pers justru menandakan Pemda Kabupaten Gorontalo tidak paham perundang-undangan.
Karena rancangan perbup tersebut, menurutnya, berpotensi melanggar aturan yang lebih tinggi yakni Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28H Ayat (2), Pasal 28I Ayat (2) dan (4), dan Pasal 33 Ayat (4).
“Peraturan Bupati seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jadi keberadaan peraturan bupati harus memiliki alas hukum agar peraturan perundang-undangan yang dimaksud diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” urainya.
Dia juga mengatakan, dasar hukum yang digunakan oleh Pemda Kabupaten Gorontalo dalam menyusun peraturan bupati terkait pengaturan kemitraan dengan perusahaan pers adalah Peraturan Dewan Pers Nomor 04/Peraturan-DP/III/2008 Tentang Standar Perusahaan Pers.
“Dewan Pers itu adalah lembaga independen dan bukan lembaga pemerintahan, sehingga peraturan Dewan Pers tidak mengikat untuk diterapkan menjadi salah satu dasar hukum di dalam membuat peraturan bupati,” terang Mandagi.
Di samping itu, ia mengungkapkan, pernyataan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Gorontalo Haris Suparto Tome kepada wartawan bahwa kemitraan yang dibangun dengan perusahaan pers lebih menitik beratkan pada aspek efisiensi dan efektifitas, justeru berbanding terbalik dengan kebijakan yang dibuatnya.
“Ada banyak media yang terverifikasi tapi memiliki rating pembaca lebih rendah dibanding dengan media non verifikasi. Artinya kerja sama menjadi tidak efektif dan efesien jika menggunakan standar peraturan Dewan Pers,” ungkapnya.
“Seharusnya sebagai Ketua Umum Forum Kepala Dinas Kominfo Kabupaten/Kota se Indonesia yang bersangkutan lebih paham tentang Undang-Undang Pers karena memiliki wawasan luas dan sering bersentuhan dengan pers,” imbuhnya.
Mandagi juga nenerangkan, operasioal perusahaan pers itu mengikuti hukum ekonomi, dalam hal ini pembaca atau pemirsa dan penguna jasa periklanan adalah penentu pasar.
“Jadi Pemerintah tidak perlu sibuk mengatur hal itu. Karena perusahan pers sama dengan jenis usaha lainnya yang harus dikelola secara profesional. Pilihan nantinya ada pada masyarakat termasuk Pemda. Siapapun berhak memilih bekerja sama dengan media yang dianggap memiliki rating tinggi dan kualitas pemberitaan yang baik,” urai Mandagi.
Parameternya, menurut Mandagi sangat jelas. Ada lembaga yang membuat riset tentang rating pemirsa dan rating pembaca.
“Jadi Pemda bisa menggunakan itu sebagai acuan melakukan kerja sama agar setiap media berlomba dan berusaha meningkatkan kualitas, sehingga tidak perlu diatur dengan Peraturan Bupati,” pungkasnya.
Mandagi juga menyinggung rencana Dinas Kominfo Kabupaten Gorontalo untuk memfasilitasi uji kompetensi bagi wartawan yang ditugaskan melakukan peliputan di wilayah Kabupaten Gorontalo.
“Kadis Kominfo harus banyak belajar. UKW yang dilaksanakan Dewan Pers itu ilegal dan tidak memiliki dasar hukum. Standar kompetensinya juga tidak teregistrasi Kementrian Ketegakerjaan. Sebagai pejabat pemerintahan seharusnya kebijakan dan kegiatannya berbasis aturan. Silahkan belajar tentang UKW resmi berlisensi pemerintah di Dewan Pers Indonesia,” tutupnya.****