OPINI,mediasulutgo.com — Baru dua bulan memasuki tahun 2025, Indonesia telah dibuka dengan berbagai berita mengenai banjir yang menimpah beberapa wilayah, dan wilayah yang paling di sorot oleh media dan acara-acara televisi adalah Jabodetabek. Namun menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bencana banjir tidak hanya melanda wilayah di Pulau Jawa, tetapi juga Sumatra dan Sulawes. Tatkala Jabodetabek di terjang banjir—air berwarna kecoklatan membumbung sampai atap rumah, di sisi lain hal yang sama juga terjadi di sudut wilayah bagian tengah Indonesia, tepatnya provinsi Gorontalo.
Terhitung sejak akhir Januari sampai bulan maret tahun 2025 ini, banjir silih berganti melanda sejumlah wilayah yang ada provinsi Gorontalo. Terutama di wilayah yang dekat dengan perairan seperti danau atau sungai—menjadi wilayah yang paling besar terdampak ketika banjir terjadi. Kompas.com melaporkan per tanggal 22 Januari kemarin, air luapan Danau Limboto mengakibatkan banjir di sekitar wilayah pemukiman tepatnya di tiga kecamatan, yaitu Limboto, Tilango dan Talaga Jaya. Banjir ini membuat sebanyak 1455 kepala keluarga atau 3.978 jiwa warga terdampak, sehingga beberapa dari mereka memilih mengungsi dan beberapa yang lain tetap bertahan dan menjaga rumah mereka (31/01/2025). Adapun jawaban penyebab banjir tidak lari-lari dari alasan klise: curah hujan tinggi—bencana tahunan. Seakan-akan ini sudah takdir dan hanya bisa berpasrah ketika bencana itu terjadi. Padahal jika dipelajari dan dianalisis dengan seksama, maka pencegahan tentu bisa di lakukan sebelum bencana tersebut terjadi.
Di lansir dari Dulohupa.id, beberapa analisis terkait penyebab banjir tahunan yang terjadi di Gorontalo, termasuk Danau Limboto adalah rusaknya kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) Limboto. Sejak dulu kondisi DAS di Danau Limboto selalu menjadi poin kritis yang harus di perhatikan karena Danau Limboto merupakan tempat bermuaranya 21 anak sungai. Belum lagi sistem drainase yang buruk menyebabkan banyak sampah tersumbat, menghambat aliran udara. Revitilisasi demi revitilisasi terus dilakukan, rencana dengan narasi ‘memperbaiki’ tak henti dicanangkan, namun pada kenyataanya ini tak lebih dari sekedar proyek yang jalan di tempat, tak ada hasilnya, dan pada akhinya menjadi omong kosong belaka. Lihatlah sudah berapa tahun sejak jani-janji manis tersebut di ucapkan, tapi pada kenyataanya Danau Limboto hingga hari ini tidak pernah absen dari berita banjir.
Selain area perairan, beberapa daratan kabupaten di Gorontalo juga ikut terdampak banjir. Melansir Darilaut.id, Banjir ini tidak hanya menerjang dataran rendah seperti Kota Gorontalo, tapi juga menyambar beberapa kecamatan di dataran tinggi seperti Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Pohuwato dan Kabupaten Boalemo (18/3/2025). Bencana banjir yang terus berulang-ulang terjadi sepertinya mustahil jika hanya di titik beratkan pada alam saja, pasti selalu ada campur tangan manusia yang ikut mengobok-obok alam sehingga membuat mereka enggan lagi menahan air hujan yang terlanjur deras. Terkhusus untuk Kabupaten Pohuwato, banjir yang menyapu beberapa kecamatan di dua bulan terakhir ini bisa jadi hasil dari di izinkannya konsensi terhadap Hutan Tanaman Energi (HTE) di tanah Pohuwato itu sendiri.
Menurut Defry Sofyan, Direktur Eksekutif Walhi Gorontalo, pembukaan lahan oleh lima pemegang konsesi—PT Inti Global Laksana (11.860,12 ha), PT Loka Indah Lestari (15.410 ha), PT Banyan Tumbuh Lestari (15.493,42 ha), PT Sawit Tiara Nusa (8.668 ha ), dan PT Sawindo Cemerlang (2.046 ha)—telah tutupan hutan yang seharusnya digunakan untuk tangkapan udara. Izin konsesi yang di gadang-gadang sebagai bioenergi terbarukan dari bahan baku kayu tersebut, tak lebih dari sebuah kamuflase yang justru merusak lingkungan dan menutup celah untuk bencana hidrometeologis yang semakin parah, seperti banjir.
Bahkan bagi Amalya Reza, seorang juru kampanye bioenergi Trend Asia, embel-embel kata ‘bioenergi terbarukan’ ini hanyalah solusi palsu. Demi mengatasnamakan kemajuan bahan bakar, pemerintah memberikan konsesi besar-besaran kepada perusahaan untuk menghalalkan jalan deforestasi secara masif. Pembukaan lahan ini tentu akan semakin memperparah kondisi lingkungan di Kabupaten Pohuwato. Risiko bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor akan meningkat seiring dengan banyaknya hutan yang hilang. Bukan hipotesis lagi bahwa hutan berperan penting dalam mengontrol aliran dan penyerapan udara. Ketika pohon yang berfungsi menahan air dan lapisan tanah atas ditebang, maka hutan tidak lagi memiliki daya tahan terhadap erosi dan hambatan aliran air, sehingga menyebabkan banjir.
Alih-alih memberikan keuntungan dan kesejahteraan, masyarakatlah yang kemudian harus menanggung resiko dari pahitnya luapan air banjir ini. Tampak jelas kebijakan pemerintah seakan-akan mudah meloloskan kepentingan pengusaha namun serasa sulit ketika mengulurkan tangan untuk menolong rakyat. Potret penguasa seperti ini amat kental dengan penguasa khas kapitalisme; menjadikan pemimpin sebagai seorang “pebisnis” yang sibuk memperkaya diri sendiri; dan dan abai terhadap rakyat yang seharusnya ia lindungi. Meskipun pejabat mengeluarkan pernyataan atau kebijakan yang menunjukkan simpati terhadap korban banjir, itu hanyalah tindakan pencitraan, dan solusi yang diberikan tidak mencapai masalah utama. Akibatnya, masalah banjir terus berlanjut.
Negara yang dipimpin oleh khalifah sebagai ra’in (penjaga) bertanggung jawab atas penyelesaian masalah banjir. Negara Islam harus didirikan dengan visi bahwa mereka akan mengatur bumi Allah, sehingga mereka tidak akan pernah membuat undang-undang atau peraturan yang merusak bumi. Negara-negara akan melakukan mitigasi bencana banjir baik sebelum (pencegahan) maupun setelah terjadi. Ini berbeda dengan negara khas kapitalis yang baru akan bertindak ketika bencana telah terjadi, akhirnya kebijakan yang lahir hanya selalu berputar-putar pada penanganan saja, bukan ke taraf pencegahan yang menyolusi dari akar permasalahan. Contoh baru-baru ini, untuk menanggapi banjir yang menimpah beberapa wilayah di Gorontalo, pejabat pemerintah provinsi Gorontalo baru berkomentar mengenai rencana penyusunan Grand Design Drainase ketika air banjir telah masuk melululantahkan rumah-rumah warga. Itupun masih berupa rencana. Tak tahu apakah ketika banjir ini tidak lagi viral, rencana tersebut akan menguap entah kemana.
Sementara dalam Islam pencegahan banjir telah terukur dengan jelas. Negara akan menerapkan politik tata kota dan pembangunan yang mempertimbangkan pelestarian lingkungan. Daerah resapan air akan dijaga dan dilindungi untuk memaksimalkan fungsinya. Selain itu, melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa bendungan, sungai, saluran air, dan sarana transportasi udara lainnya beroperasi dengan optimal. Masyarakat akan diberitahu jika ketinggian air perlu diwaspadai. Selain itu, pemerintah segera melakukan tindakan untuk mengalirkan air ke lokasi yang tersedia dan mempersiapkan penduduk untuk pindah ke tempat aman jika kondisi menjadi lebih buruk. Penggunaan daerah resapan udara dan d eforestasi adalah tindakan yang dilarang oleh hukum. Hutan yang dibiarkan tumbuh subur dan alih fungsinya akan dilakukan dengan saksama oleh para ahli agar tidak berdampak buruk pada lingkungan. Jika wilayah tersebut ditemukan gundul, wilayah tersebut akan segera ditanami kembali dengan pepohonan dengan akar yang dapat menahan udara.
Negara akan mengedukasi rakyatnya untuk melindungi hutan dan perairan mulai dari pemukiman, perdagangan, pabrik, dan aktivitas lainnya. Sanksi tegas dan menjerakan akan diterapkan jika seseorang melanggar. Tidak ada yang namanya privatisasi seperti hari ini, dimana negara menyerahkan izin kelola alam kepada perusahaan-perusahaan besar dengan iming-iming uang demi memperkaya segelintir orang dan kelompok tertentu. Dengan demikian kata ‘pelestarian’ alam bukan hanya sekedar aksesoris belaka. Ia harus lahir di atas negara yang berasas akidah Islam, dari pemimpin yang bertakwa, bukan dari tumpukan janji manis yang luntur di tengah jalan.(*)