Scroll keatas untuk lihat konten
EKONOMI BISNISHEADLINESOPINI

Akankah Pembangunan Mensejahterakan atau Hanya Paradoks Semata?

×

Akankah Pembangunan Mensejahterakan atau Hanya Paradoks Semata?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Murtilah Rahman | Mahasiswa

Aturan Memudahkan Agraria

Konflik lahan nyata menjadi salah satu persoalan yang dihadapai banyak rakyat. Namun faktanya negara justru membuat aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih Pembangunan. Padahal nyatanya bukan untuk kepentingan rakyat ataupun menguntungkan rakyat. Perampasan lahan atas nama pembangunan adalah legal menurut Omnibus Law UU Cipta Kerja no 6 Tahun 2023 yang memudahkan pemberian izin penggunaan lahan (HGU,Konsesi, Perpres PSN). Jelas proyek pembangunan yang menikmati adalah para pemilik modal, penikmat hasil proyek juga rakyat yang memiliki dana, sedangkan masyarakat banyak hanya menjadi penonton saja, bahkan menjadi korban perampasan lahan.

Pada siaran pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menjelaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Produk regulasi sesat pikir tersebut diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek nasional pada satu tahun terakhir masa kepemimpinannya.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Perpres tersebut secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN). Regulasi terkait dampak sosial penyediaan tanah pembangunan nasional bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. Pada perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN.

Menurut Walhi, cara pandang yang dituangkan dalam Perpres 78/2023 makin memperlihatkan kesesatan logika hukum Jokowi. Walhi mencatat beberapa masalah fundamental dalam peraturan tersebut.

Pertama, Presiden gagal memahami makna Hak Menguasai Negara (HMN). Dalam Perpres 78/2023, Presiden membuat penyesuaian dengan UU Cipta Kerja dengan menambah hak baru pada tanah negara yaitu, tanah dalam pengelolaan pemerintah. Pasal 3 ayat (2) menunjukkan kesesatan ini dengan menganggap Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah memiliki tanah. Hal ini jauh dari pengertian HMN dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (Putusan MK No. 35/PUU-X/2012; Putusan MK No. 50/PUUX/ 2012; dan Putusan MK No. 3/PUU-VIII/2010) yang menyatakan, Negara tidak dalam posisi memiliki sumber daya alam termasuk tanah, melainkan hadir untuk merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad).
Walhi mendesak Presiden untuk segera mencabut Perpres 78/2023 demi menghindari konflik sosial dan ekologis skala besar di berbagai tempat di Indonesia. Dengan adanya Perpres 78/2023, Perpres 62/2018 maka dengan dalih pembangunan nacional. Alih-alih menetapkanya sebagai tanah terlantar yang bisa kembali kepada masyarakat justru masyarakat yang mengelolahnya, bisa diusir dari tanah tersebut dengan santunan.

Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam system kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Di dalam sistem kapitalisme demokrasi, penguasa dituntut oleh kekuatan global untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan banyak melakukan Pembangunan. Proyek demi meraih predikat negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi namun riilnya rakyat kesulitan di sana-sini, proyek untuk menyokong penguasaan SDA oleh swasta dan asing. Tidak mungkin para pemilik modal dengan baik hati dan sukarela mengucurkan dana jika tanpa ada imbalan keuntungan yang berlipat. Maka terbentuklah simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha karena politik oligarki.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *