GORONTALO, mediasulutgo.com — Minggu, 28 Maret 2021, menjadi tragedi kemanusiaan bagi kita semua. Bom bunuh diri yang terjadi di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan, tepat pada pukul 10.28 Wita, adalah bentuk ancaman terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Tragedi ini, menyebabkan puluhan masyarakat mengalami luka-luka, diantaranya petugas keamanan gereja dan Jemaat Gereja Katedral Makassar.
Terlepas dari apa motifnya, siapa pelakunya, dan pelakunya dari jaringan kelompok manapun, tindakan ini bertentangan dengan ajaran agama manapun, karena mengancam jiwa manusia dan merusak tatanan kehidupan sosial yang ada.
Pengurus Rumah Moderasi Beragama IAIN Sultan Amai Gorontalo menyampaikan bahwa tindakan seperti bunuh diri atau tindakan lainnya yang mengarah pada bentuk ancaman terhadap jiwa manusia adalah bentuk ancaman terhadap kehidupan sosial kemanusiaan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan prinsip keagamaan, kemanusiaan, maupun budaya masyarakat kita.
Jika kita sedikit belajar dari kasus bom bunuh diri yang pernah terjadi sebelumnya, seperti pelaku bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018, yakni pasangan suami istri, Dita Oeprianto dan Puji Kuswati beserta keempat anaknya. Dari hasil penelusuran kepolisian, bahwa keluarga ini merupakan anggota dari salah satu jaringan kelompok teroris di Indonesia (Dikutip dari Tirto. Id, edisi 14 Mei 2018).
Motif dari pelaku bom bunuh diri tentu tidak selamanya sama, ada yang bermuatan teologis, politis, bahkan ada yang bermuatan ekonomis dan seterusnya. Setiap kasus bom bunuh diri pelakunya mempunyai motif dan dari individu atau kelompok yang berbeda-beda. Terlepas dari persoalan tersebut, apapun motifnya dan dari kelompok manapun, tindakan bom bunuh diri merupakan ancaman terhadap kemanusiaan yang tidak dibenarkan oleh sumber manapun, baik itu agama, sosial, budaya, dan sebagainya.
Oleh karena itu, kita perlu melihat kasus seperti bom bunuh diri ini secara akademis. Dalam artian, kita harus mempelajari setiap kasus yang ada dan mendudukkannya secara tepat sesuai dengan konteksnya. Langkah-langkah ini, dapat membantu kita untuk menjalankan cara kerja yang dapat mengcounter dan meminimalisir bentuk-bentuk tindakan yang mengarah pada tindakan teror di masyarakat.
Caranya, kita tidak sekadar melakukan upaya penguatan pemahaman kegamaan di masyarakat, yang inklusif, toleran dan moderat. Tetapi, kita perlu untuk melakukan upaya penguatan kerjasama sosial dari masyarakat akar rumput, masyarakat perkotaan, komunitas, sampai institusi pemerintahan. Secara bersama-sama memperkuat keamanan dari desa, kelurahan, sampai wilayah perkotaan, agar mempermudah mendeteksi tindakan individu atau kelompok yang berafiliasi pada kelompok teroris.(**)