OPINI

Mengurai Benang Kusut Etika Media dan Budaya Pesantren, Siapa yang ‘Gagal Paham’?

×

Mengurai Benang Kusut Etika Media dan Budaya Pesantren, Siapa yang ‘Gagal Paham’?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rayyan Kinasih

OPINI,mediasulutgo.com — Kontroversi antara salah satu stasiun televisi nasional, Trans7, dan kalangan pesantren baru-baru ini kembali menghangatkan ruang publik. Dalam episode yang ditayangkan oleh program Xpose milik trans7,menampilkan video di Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo, Kediri, Jawa Timur dengan narasi dan visual yang dianggap membangun framing negatif mengenaikehidupan di pesantren. “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?” kira-kira begituah judul provokatif pada segmen yang memicu kontroversi tersebut.

Tayangan ini langsung  viral dan menuai kemarahan publik, terutama dari para santri dan tokoh agama. Hingga tagar #BoikotTrans7 pun mencuat di sosial media sebagai bentuk kekecewaan warganet terhadap program televisi tersebut. Mungkin bagi sebagian orang, itu hanyalah bentuk humor atau hiburan. Namun bagi warga pesantren, hal itu dianggap melanggar nilai kesopanan dan adab, merendahkan kehidupan santri, serta melecehkan nilai-nilai luhur yang dijunjung pesantren.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Jika melihat dari sudut masyarakat yang kontra terhadap program televisi tersebut, respon mereka memanglah wajar. Pasalnya, dalam tayangan itu menampilkan situasi di Ponpes Lirboyo yang bukan seharusnya. Narasi yang dihadirkan bersifat tendensius dan memojokkan institusi pesantren, seolah-olah citra pesantren sebagai tiang peradaban Islam telah rusak seiring munculnya budaya dan kebiasaaan di pesantren yang dianggap melenceng. Padahal, mungkin saja bagi orang yang familiar dengan kehidupan pesanteren hal tersebut biasa-biasa saja dan tidak perlu dipermasalahkan.

Terlebih lagi, ponpes Lirboyo adalah pondok pesantren bersejarah yang dikenal oleh khalayak sebagai tempat lahirnya generasi santri yang tangguh dan berdampak bagi masyarakat. Banyak ulama dan tokoh besar di Indonesia merupakan hasil cetakan pesantren tersebut. Sehingga tidak layak jika media menarasikanpesantren dengan nada dan gaya julid serta merendahkansebagaimana mereka membawakan berita infotaiment para artis demi dapat menarik penonton. Kasus ini menjadi bukti bahwa media telah menyalahi prinsip etika jurrrnalistik itu sendiri.

Sebenarnya kasus framing buruk terhadap ulama, pesantren, kelompok dakwah, maupun ajaran dan simbol Islam bukan kali ini saja terjadi. Pemberitaan seperti demikian layaknya lagu lama yang terus diputarberulang-ulang, tidak hanya di Indonesia atau negeri-negeri muslim, tapi di seluruh dunia. Islam seringkali disandingkan dengan narasi-narasi klasik seperti radikalisme, terorisme, ekstrimisme, fanatisme, dan lain sebagainya.

Medialah sebagai lubang utama tempat keluarnya auman-auman buruk tentang Islam tersebar ke seluruh penjuru bumi. Artinya media adalah perpanjangan tangan dari para pemegang kepentingan yang bertugas untuk memastikan narasi-narasi yang dibuat dapat sampai ke telinga dan penglihatan masyarakat. Hanya perlu sedikit mempolesnya dengan gaya dan nada yangcukup meyakinkan, maka publik bisa langsung memepercayainya sebagai sebuah kebenaran baru, sekalipun itu adalah sebuah kebohongan besar.

Sejatinya, tidak ada media yang benar-benar netral. Seorang Dosen Ilmu Komunikasi UGM, Wisnu Prasetya Utomo menuturkan bahwa tidak ada yang namanya netralitas dalam jurnalisme. Mereka selalu ditunggangi oleh kepentingan para elit atau disebut juga sebagai agenda setting. Mereka akan membebek pada siapapun yang dapat memberikan materi terlepas berita tersebut benar atau salah, baik atau buruk. Tak pelak, karena peradaban kapitalisme yang menggema di negeri ini, membuat media pun juga ikut terkena cipratannya. Dalam sistem sekuler kapitalisme, sudah menjadi rahasia umum bahwa media bukan sekadar industri hiburan semata, melainkan juga merupakan “angkatan kelima” setelah angkatan darat, laut, udara, dan kepolisian.Media dijadikan alat oleh ideologi kapitalisme untuk menyebarkan idenya ke seluruh dunia. Media tidak lagi menjadi lembaga yang indenpenden dan berintegritas, melainkan beralih fungsi melayani nilai-nilai sekuler liberal dan kepentingan kaum kapitalis. Di sinilah, peran media sebagai senjata perang pemikiran.

Tidak heran media menjadi pilihan terbaik untuk membentuk persepsi dan menggiring opini publik tentang Islam yang sesat. Sebab, Islam adalah musuh besar kapitalisme. Kaptalisme menganggap keberadaan nilai-nilai dan syariat Islam dapat menghalangi penjajahan ekonomi, pemikiran, dan politik Barat di negeri-negeri muslim. Mereka juga takut akan ideologi Islam yang dapat mengancam eksistensi kapitalisme yang telah berkuasa bertahun-tahun lamanya. Alhasil, selama dunia masih menggemban ideologi kapitalisme sekuler, framing dan stereotipe negatif terhadap Islam akan terus berhembus kencang sebagai bagian dari perang opini dan pemikiran antara ideologi Islam dan kapitalisme.

Namun sampai sini, pernahkah kita bertanya, apakah hanya media yang pantas dikritik? Apakah hanya media yang gagal paham tentang budaya dan kebiasaan pesantren? Atau mungkin budaya pesantren memang patut dikritik?

Terlepas dari semua kontoversi yang ada, terlepas dari media trans7 yang salah, terlepas bagaimana kondisi ponpes Lirboyo yang sebenarnya, kita tidak dapat memungkiri fakta bahwa kondisi pesantren hari juga memprihatinkan. Pernyataan ini tidak mempresentasikan kondisi pesantren secara keseluruhan, tapi tentangkondisi pesantren yang sedang hangat diberbincangkan akhir-akhir ini. Komnas Perempuan mencatat pesantren menempati urutan kedua sebagai lembaga pendidikan dengan kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2020-2024. Peringkat ini lebih tinggi daripada sekolah umum biasa. Tidak terbilang, sepanjang tahun 2025 berapa banyak berita kekerasan seksual di pesantren yang mencuat ke media sosial—entah itu ustadz (guru) melecehkan santri perempuan hingga ustadz yang menyodomi santri laki-lakinya.

Ditambah lagi, munculnya video yang menampilkan budaya dan kebiasaan di wilayah pesantren yang lebih mirip dengan sistem feodal. Santri membungkung, jalan jongkok, mencium tangan dan kaki, hingga memberikan amplop kepada gurunya, seolah–oleh santri berada di posisi bawahan sementara kyai atau sang guru menjadi tuannya. Di video lain juga menampilkan suasana pesantren yang tidak lagi menerapkan syariat Islam khususnya ketika perhelatan acara-acara besar seperti sholawatan. Acara-acara tersebut tidak lagi diikuti dengan khidmat dan sakral, melainkan laksana event konser yang heboh—laki-laki dan perempuan tidak lagi ada batasan, campur baur penonton tidak terelakkan, dan isi acaranya dipenuhi oleh nyanyian dan goyang yang tidak bermutu.

Hal ini tidak lari dari persoalan pemikiran yang dibahas di awal. Asas sekulerisme-kapitalisme juga menyambar institusi pesantren. Secara teori mereka belajar ritual agama dan syariat Islam, namun dalam berkehidupan di dunia, mereka malah mengesimpingkannya. Pesantren terpengaruh oleh pemikiran dan hegemoni ala kehidupan Barat yang bebas tanpa agama. Apalagi setelah adanya rencana kerja sama antara Amerika Serikat dan Kemenag Indonesia, yang menargetkan salah satunya adalah para santri untuk dapat melanjutkan pendidikan ke universitas-universitas yang ada di Amerika Serikat melalui beasiswa.  Padahal, tentu ada misi tersembunyi dibalik program ini, yakni menanamkan nilai-nilai liberal dan pemikiran sekulerisme ke dalam dunia Islam.

Alhasil, tidak ada cara lain untuk melawan pemikiran barat ini, selain menyerangnya balik dengan pemikiran Islam. Dalam Islam mengatur segala aspek secara komperhensif, termasuk media dan pendidikan. Dalam negara yang berasas akidah Islam, media berfungsi untuk menyebarkan ajaran dan nilai-nilai Islam, menunjukkan kehebatan ideologi Islam, sekaligus membongkar keburukan ideologi kufur buatan manusia. Sebagai sarana untuk publikasi, media haruslah sejalan dengan hukum syarah—mempublikasikan visual ucapan yang hak, menggunakan narasi yang baik dan benar, dan melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Dengan demikian, media juga menjadi sarana dakwah Islam. Negara akan secara aktif mendukung media dan berkontribusi dalam menyebarkan dakwah Islam ke seluruh umat manusia. Negara adalah junnah (perisai) yang menjaga Islam jauh dari penyesatan dan pelecehan, sehingga wajib hukumnya memfilter berbagai informasi yang dapat merusak masyarakat sebelum dipublikasikan oleh media.

Tidak kalah strategis dengan peran media, pesantren juga berpotensi besar bagi dakwah Islam. Pesantren adalah tiang peradaban dan pelopor penegak syariat Islam. Fokus pendidikan pesantren yakni mengajarkan pemahaman Islam, bukan hanya melulu perkara akhirat, tapi ia juga mengajarkan petunjuk hidup dan konsep sistem berkehidupan yang terbaik. Bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah, Islam akan diajarkan secarakaffah atau menyeluruh. Tidak hanya dalam perkara agama, pesantren juga harus membina para santrinyauntuk mempunyai pola pikir politik-ideologis agar dapat kritis terhadap proyek barat serta perang pemikiran yang coba disuntikkan barat untuk merusak jati diri kaum muslim.

Dengan demikian, baik media maupun pesantren, keduanya berperan besar bagi kebangkitan Islam. Pesantren adalah rahim tempat lahirnya generasi Islam yang cemerlang serta orang-orang yang akan mendakwahkan Islam. Sementara itu, media adalah alat yang digunakan untuk menyebarkan ide secara masif dan memengaruhi kesadaran, presepsi, dan opini publik.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *