OPINI,mediasulutgo.com — Saat ini media sosial sudah bukan merupakan bagian yang terpisahkan dari kehidupannya para gen Z. Hampir setiap hari para gen Z menghabiskan waktunya sampai berjam-jam hanya sekedar scroll media sosial terutama scroll tik-tok. Hal ini berdasarkan data survei Jakpat pada tahun 2024 dimana mereka melibatkan 1.155 responden yang berusia 15-27 tahun, sebagian besar dari mereka lebih banyak menghabiskan waktu luang dengan menjelajahi media sosial (GoodStats.com).
Dari Data Global Digital Reports melaporkan ada 5,25 miliar orang yang aktif di media sosial. Di media sosial mereka saling terhubung. Mereka bisa saling berinteraksi dengan platform yang disediakan entah itu lewat chat, komentar-komentar maupun game. Namun dari banyaknya pengguna media sosial juga membuat mereka saling terhubung ternyata tidak dapat menghilangkan perasaan sepi meskipun mereka sering berinteraksi di media sosial. Realitanya mereka merasakan perasaan hampa juga membuat mereka jarang berinteraksi di dunia nyata (detik.com).
Hal inilah yang melatarbelakangi mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) melakukan riset yang berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”. Riset ini muncul karena pertanyaan mengapa seseorang bisa aktif di media sosial tapi di dunia nyata mereka jarang berinteraksi.
Salah satu ketua tim riset ini, Fifin Anggela Prista dari kajiannya mereka bahwa Menurut teori hiperrealitas bahwa dunia digital sering dianggap sebagai sesuatu yang nyata daripada yang terjadi didunia nyata. Hal inilah bisa membentuk emosi dan berpengaruh terhadap mental dan hubungan sosialnya seseorang.
Kapitalisme pencipta industri yang merusak mental generasi dan antisosial
Di Media sosial kita disuguhi berbagai macam konten ada konten-konten yang berfaedah dan ada konten-konten yang bisa merusak generasi. Kebanyakan para content creator hari ini mereka memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan cuan dari like,subscribe dan share. Tidak jarang mereka membuat konten yang tidak berfaedah hingga pada taraf yang membahayakan mental seseorang. Ini dikarenakan dalam sistem kapitalisme ini menciptakan manusia-manusia yang sekedar ingin mendapatkan kepuasan materi. Tidak peduli apakah konten itu membahayakan atau tidak. yang terutama adalah keuntungan yang mereka dapatkan.
Ada juga salah satu platform game online yang bernama roblox. Game ini menciptakan generasi-generasi yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Mereka menganggap bahwa game itu kayak dunia nyata padahal itu hanya semu. Mereka bisa berinteraksi, bermain, melakukan transaksi, hingga membuat komunitas di game tersebut.
Gen Z merupakan generasi yang paling banyak merasakan kesepian hingga membuat mental mereka terganggu dan juga membuat mereka anti sosial. Penyebabnya bukan hanya karena mereka minim literasi ligital dan juga bukan karena kurangnya manajemen terhadap penggunaan gadget. Tapi ini memang sengaja diciptakan oleh para kapitalis untuk menciptakan generasi yang anti sosial. Kita bisa lihat berapa banyak anak-anak menghabiskan waktu mereka dengan media sosial hingga membuat mereka jarang berinteraksi dengan orang tua dan keluarganya mereka. Misalnya saja ketika ada acara kumpul-kumpul keluarga mereka malah sibuk dengan gadget mereka masing-masing. Selain itu, kapitalis sengaja menciptakan industri digital untuk membuat generasi kurang produktif dan rapuh. Hal ini bisa dilihat generasi menghabiskan waktu mereka dengan media sosial hingga mereka lupa melakukan kegiatan yang produktif. Penggunaan media sosial secara berlebihan menjadikan mereka terbiasa dengan hidup dalam kesepian hingga membuat mereka rapuh.
Menjadikan Islam sebagai identitas utama
Penyebab adanya fenomena lonely in the crowd bukan hanya karena masalah mental health, tetapi karena kesalahan penerapan sistem kapitalis hari ini. Di sistem ini, agama dipisahkan dari kehidupan serta kebebasan individu yang paling disanjungkan. Sedangkan keuntungan diutamakan.
Sebagai seorang muslim kita harus menyadari kita tidak hanya membatasi aktifitas kita di media sosial tetapi solusinya kita harus menjadikan Islam sebagai identitas utama.
Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa bangun di pagi hari dan hanya memperhatikan urusan dunianya, maka ia tidak mendapatkan sesuatu pun dari Allah. Dan barang siapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka.” (HR. Thabrani).
Hadist tersebut menjelaskan bahwa Identitas kita sebagai seorang muslim bukan hanya berkutat pada aktifitas pribadinya kita semata tapi kita harus punya visi yang besar dan peduli terhadap kondisi umat. Inilah identitas kita sebagai seorang muslim. Identitas inilah yang akan membuat kita menggunakan media sosial sebagai sarana dakwah dan ukhuwah.
Peran Negara, Bukan Sekadar Urusan Individu
Kesadaran individu memang bisa menjadi solusi dalam mengatasi lonely in the crown. Tapi solusi itu hanya solusi parsial. Karena jika sistemnya masih menggunakan sistem sekuler-liberal maka terus berulang masalahnya. Karena akar masalahnya tidak dihentikan. Juga peran negara sangat penting, negara yang dimaksud adalah adanya negara islam yang akan memastikan penggunaan teknologi hanya sesuai dengan syariat Islam dan tidak menyerahkan kepada pasar bebas.
Konten-konten yang ada hanya berpijak pada nilai-nilai ruhiyah. Misalnya konten-konten dakwah, ilmu pengetahuan dan sejarah Islam. Sedangkan konten yang merusak akidah dan moral akan dibanned dan dihapus.
Maka dari itu untuk mengatasi masalah lonely in the crowd bukan hanya membatasi aktifitas kita di media sosial atau perbanyak aktivitas offline karena itu hanya solusi tambalan saja.(**)