Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHUKRIM

Hukum Yang Kehilangan Kehormatannya

×

Hukum Yang Kehilangan Kehormatannya

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rayyan Kinasih

Hukum
Illustrasi

OPINI,newsline.id — Banyaknya kasus tentang lemahnya penegakkan hukum yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan paling krusial dalam benak publik, apakah hukum yang adil itu benar-benar hidup negeri ini? Ibarat kereta api yang berjalan diatas rel kereta api demi mencapai stasiun pemberhentian, maka hal yang sama juga terjadi pada proses hukum—ia menjadi jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan akhir yaitu keadilan. Ia harus bersih dari segala kepentingan, tidak ada intervensi apalagi politisasi, bekerja secara netral dan konsisten, serta mencerminkan nilai moral dan etika yang menjadi bagian dari hukum itu sendiri. Namun sayangnya kepercayaan publik terhadap kesucian hukum ini mulai runtuh satu per satu. Melalui berbagai kasus yang ada, publik dapat melihat bagaimana hukum ditelanjangi oleh kepentingan, hingga benar-benar kehilangan kehormatannya.

Kasus panas tentang korupsi impor gula oleh Tom Lembong, Menteri Perdagangan (Mendag) di era rezim Joko Widodo ini berhasil mengangkat kembali isu penegakkan hukum ke permukaan, bahkan menarik para influencer untuk ikut menyuarakannya. Kasus yang bergulir sejak tahun 2024 ini akhirnya mencapai puncaknya saat putusan pengadilan dibacakan beberapa hari yang lalu. Hakim memutuskan Tombong Lembong terbukti bersalah dan divonis 4,5 tahun penjara serta denda Rp 750 juta atas kasus impor gula yang bermula pada tahun 2015. Pada saat itu, Tom Lembong sebagai Menteri Perdagangan memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah kepada perusahaan swasta—yang dimana itu hanya bisa dilakukan oleh BUMN—padahal menurut jaksa, saat itu Indonesia sedang mengalami surplus gula atau stok gula berlebih sehingga tidak memerlukan impor. Selain itu, hal yang memberatkan Tom Lembong lainnya adalah karena impor gula tersebut dilakukan tanpa adanya rapat koordinasi antar-kementrian. Padahal fakta persidangan mengatakan sebaliknya. Kebijakan impor gula tersebut telah melalui rapat koordinasi antar-kementrian yang dilaksanakan 12 Mei dan 8 Oktober 2015 sebagai dasar kebijakan, walaupun keputusan itu memang tidak disertai rekomendasi formal atau dokumen administrasi secara resmi dari berbagai kementrian tapi setidaknya rapat koordinasi pernah terjadi. Dari rapat koordinasi itu pula terlontarlah informasi dari kementrian ekonomi bahwa pabrik gula BUMN sedang melakukan penggilingan dan hanya dapat memenuhi kebutuhan gula nasional sampai 3 bulan ke depan saja. Ditambah lagi, tahun itu terjadi kebutuhan gula yang mendesak karena produksi total gula Indonesia hanya 2.05 juta ton, sementara yang dibutuhkan sebanyak 5.6 juta ton—ini bertentangan dengan pernyataan jaksa mengenai adanya surplus gula—sehingga masuk akal jika Tom Lembong menerbitkan impor gula melalui perusahaan swasta untuk pertama kalinya pada Oktober 2015 kala itu. Bahkan Tom Lembong menegaskan bahwa ia selalu menjalankan perintah presiden Jokowi dan sering berkonsultasi dengan beliau termasuk mengenai impor selama ia menjabat sebagai Mendag. Jika semua sudah berdasarkan atasan, mengapa hal ini baru dipermasalahkan setelah 8 tahun telah berlalu?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *