OPINI,mediasulutgo.com –Setiap tanggal 20 November menjadi hari penting yang ditunggu-tunggu oleh anak-anak diseluruh dunia, pasalnya pada hari itu diperingati sebagai Hari Anak Sedunia atau World Children’s Day, yang diinisiasi oleh organisasi Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Children’s Fund (UNICEF).
Dilansir dari laman UNICEF, pada hari anak sedunia ini menjadi ajang untuk mendengarkan anak-anak dan memenuhi hak mereka untuk mengekspresikan diri, memahami ide untuk dunia yang lebih baik, dan memasukkan prioritas mereka dalam tindakan untuk masa depan. Ironisnya jargon yang digaung-gaungkan ini sangatlah kontras dengan kenyataan yang ada di lapangan. Jika dilihat dari belahan bumi lain, terutama anak-anak yang hidup di negara yang tengah berkonflik seperti Palestina, tentu tujuan dari diselenggarakannya hari anak yang dikatakan oleh UNICEF, rasa-rasanya tidak pernah sama sekali dicicipi oleh anak-anak malang tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) PBB pada Kamis (21/11/2024) melaporkan bahwa jumlah anak Palestina yang dibunuh oleh tentara Israel di daerah pendudukan Tepi Barat telah meningkat tiga kali lipat.
Hal ini disampaikan juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam konferensi pers, ia menjelaskan bahwa situasi yang memburuk di Tepi Barat berdampak pada anak-anak palestina. Sejak 7 Oktober tahun lalu, rata-rata empat anak Palestina telah dibunuh di Tepi Barat setiap minggu. Ini adalah peningkatan tiga kali lipat dibandingkan dengan sembilan bulan pertama tahun 2023 (Tempo, 22/12/2024).
Menurut data Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, total jumlah anak-anak Palestina yang telah terbunuh akibat serangan Israel setidaknya telah mencapai 17.400 anak per Rabu (Al Jazeera, 20/11/2024). Angka ini tentu bukan angka yang main-main jika disandarkan pada nyawa manusia. Bahkan sampai hari ini, korban anak-anak di Gaza atas kemungkinan masih akan bertambah seiring berlangsungnya serangan Israel. Lantas apa arti dan hakikat sebenarnya dari Hari Anak jika sorak sorai anak-anak lain dirayakan diatas kuburan anak-anak palestina?
Terkukung Oleh Nasionalisme
Pada akhirnya ‘Hari Anak Sedunia’ yang dibuat oleh PBB hanyalah narasi kosong tanpa arti laksana pepatah “kaleng kosong, nyaring bunyinya”. Ini jelas-jelas suatu pengkhianatan nyata yang dilakukan terhadap anak-anak palestina. Mereka tidak memiliki jaminan apapun, termasuk hak atas makanan, pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan perlindungan dari kekerasan dan hak hidup. Alhasil maut menjadi teman sehari-hari yang senantiasa membayang-bayangi mereka.
Jargon beriming-iming perlindungan dan kesejahteraan bagi anak-anak diseluruh dunia kini hanya tinggal omong kosong belaka. Negara-negara muslim disekitarnya, seperti Mesir, Arab, Yordania, dll, seolah menutup mata dengan kezaliman yang jelas-jelas nampak di depan mata. Nasionalisme, ialah paham yang membuat kepedulian sebagai seorang muslim terhalang oleh sekat-sekat ‘kesamaan tempat berpijak’, artinya jargon-jargon indah tersebut hanya akan bekerja pada anak-anak yang tinggal di negara yang sama dengan muslim tersebut. Sehingga mereka tidak merasa bertanggung jawab terhadap atas penderitaan anak-anak muslim yang ada di Palestina.
Habis Di Retorika
Faktanya kata-kata manis tidak hanya hadir dari PBB, tapi juga dilontarkan oleh pemimpin di negara-negara muslim, yang menyampaikan dukungan dan kesiapan untuk memperkuat pasukan perdamaian PBB di sana. Narasi-narasi perdamaian seperti ini tidak lain hanyalah permainan retorika yang sering keluar dari mulut para pemimpin dunia ditengah gencaran serangan yang terus mendarat di tanah Palestina.
Para pemimpin muslim tidak ada henti-hentinya berharap pada PBB dan negara-negara adidaya. Padahal pada faktanya, tragedi Palestina sudah berlangsung sejak sangat lama bahkan PBB yang disetir oleh Amerika, merekalah yang bertanggung jawab atas munculnya negara Yahudi di tengah-tengah tanah Palestina. Amerika Serikat, sebagai penguasa dunia kapitalisme, berharap negara Islam, terutama Timur Tengah yang kaya akan minyak, terus berkonflik hingga posisi politiknya di dunia internasional melemah. Dengan menawarkan dukungan politik dan loyalitas kepada rezim Arab yang rakus akan kekuatan, bisnis senjata, dan minyak, Amerika Serikat dapat mengambil keuntungan dari konflik yang terus-menerus di wilayah tersebut.
Dari sini nampak jelas buah dari kapitalisme yang membuat mereka terus ‘memelihara’ konflik perang ini demi ambisi dan kepentingan untuk meraup keuntungan ekonomi sebesar-besarnya bahkan harus mempertaruhkan nyawa anak-anak tak berdosa. Yang lebih ironisnya lagi, kondisi anak-anak palestina ini menjadi kesempatan emas bagi mereka untuk untuk menghindari kemungkinan bangkitnya kembali peradaban Islam yang akan mengambil alih kepemimpinan politik internasional dari Amerika Serikat.
Anak Pantas Dilindungi Negara!
Menurut Islam, anak adalah aset penting bagi negara untuk membangun peradaban gemilang. Ini berbeda dengan situasi saat ini, di mana hak-hak antara anak yang satu dengan anak lainnya tidak disamaratakan, bahkan dizalimi oleh negara. Padahal mereka adalah generasi masa depan yang harus menjaga keamanan, keselamatan, kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan mereka. Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan keberlangsungan hidup generasi. Negara-negara yang beroperasi di bawah sistem Islam akan memenuhi kebutuhan anak dengan sangat baik.
Negara tidak boleh membiarkan anak-anak terlantar atau terusir sampai mereka kehilangan hak asasi manusia seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Oleh karena itu, negara akan berusaha menghapus segala bentuk penjajahan yang menghambat pelaksanaan hak dasar anak sebagai manusia. Apalagi penjajahan fisik yang jelas-jelas dilakukan oleh Israel didepan mata seperti hari ini, negara akan langsung menyerukan jihad dan mengirimkan tentara terbaiknya untuk membela kehormatan kaum muslim, sehingga tidak ada lagi konflik antarmuslim atau penjajahan Barat atas negeri-negeri Islam serta akan menghilangkan sekat-sekat nation state, suku, ras, dan golongan yang mengukung dan membatasi gerak muslim hari ini.(**)