Persoalan Tunjangan Rumah Dinas Anggota DPR : Menguntungkan atau Merugikan?
Tidak lama ini, beredar berita bahwa anggota DPR RI periode 2024-2029 tidak akan lagi mendapatkan fasilitas rumah dinas melainkan akan diganti dengan uang tunjangan rumah dinas atau rumah jabatan yang besarnya sekitar Rp 50 juta per bulan. Sekretaris jenderal (Sekjen) DPR RI Indra Iskandar mengatakan, perumahan akan dimasukan dalam komponen gaji anggota DPR, sehingga akan diberikan setiap bulan. Para anggota DPR juga diberikan keleluasaan dalam menggunakan tunjangan tersebut. Tunjangan tersebut akan ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. Tanpa adanya pengawasan. Diketahui jumlah dari anggota DPR sebanyak 580 anggota. Jika dikalkulasi selama 5 tahun anggaran yang akan dikeluarkan oleh negara sebesar Rp1,74 triliun sampai Rp2,43 triliun.
Kebijakan ini, menimbulkan polemik di Masyarakat. Hal ini karena ada pemborosan anggaran sekitar 1,36 triliun hingga Rp2,06 triliun dalam jangka waktu 5 tahun kedepan. Selain itu, kata seria “ICW menduga bahwa kepentingan tersebut tidak memiliki perencanaan sehingga patut diduga gagasan pemberian tunjangan hanya untuk memperkaya anggota DPR tanpa memikirkan kepentingan publik”.
Tunjangan yang nantinya akan diberikan ke anggota DPR berasal dari anggaran negara yang bersumber dari pajak Masyarakat. Untuk anggota DPR diberikan tunjangan rumah dinas sebesar 50 juta per bulan akan tetapi jika dibandingkan dengan kondisi masyarakat hari ini sangat kontras sekali. Untuk membangun rumah saja masyarakat harus dengan menunggu tabungan beberapa tahun. Ada yang rela banting tulang untuk kerja siang dan malam untuk kehidupan yang layak. Untuk data masyarakat Indonesia yang belum memiliki rumah dimana indonesia menduduki peringkat ke-11 negara dengan jumlah tunawisma terbanyak di dunia dengan populasi tunawisma pada 2024 diperkirakan sekitar 3.000.000 orang (dilansir dari laman web harianjogja.com). Jumlah 3.000.000 orang yang belum mendapatkan rumah bukanlah jumlah yang sedikit tapi ini menggambarkan masih banyak masyarakat yang diluaran sana hidup tidak memiliki rumah. Jika kondisi demikian, apakah betul anggota DPR sudah menjalankan tugas mereka sebagai penyambung rakyat? ditambah dengan adanya ‘beban’ iuran Tapera bagi pekerja yang justru makin menambah kesulitan rakyat.
Katanya dalam sistem hari ini dari rakyat, untuk rakyat dan akan Kembali kepada rakyat. Tapi pada kenyataanya mereka bekerja hanyalah untuk para penguasa dan pengusaha. Beginilah realita sistem pemerintahan yang dijalankan saat ini yaitu hanya sekedar kepentingan semata. Tanpa melihat kondisi Masyarakat saat ini. Mengapa tunjangan untuk anggota DPR tidak diberikan kepada Masyarakat saja yang sedang kesusahan? Karena jika dinilai tunjangan yang diberikan kepada mereka para pejabat sudah sangat lebih pemberiannya. Untuk rumah mungkin bisa dengan memperbaiki bangunan yang sudah rusak atau sudah tidak bagus lagi. Tidak dengan memberikan tunjangan sekitar 50 juta per bulan.
Dari sini, tunjangan rumah dinas untuk anggota DPR menguntungkan atau merugikan? Jawabannya menguntungkan untuk mereka dan merugikan untuk Masyarakat.
Sudah tidak heran lagi mengapa para pemerintah menyetujui kebijakan-kebijakan seperti ini karena sistem pemerintahan yang dijalankan saat ini adalah kapitalisme. Tujuannya untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Kenapa untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya? Karena ruh dalam sistem kapitalisme adalah sekulerisme yaitu adanya pemisahan agama dari kehidupan. Dalam artian sistem pemerintahannya, ekonominya, politiknya, sosialnya, pendidikannya itu dipisahkan dari aturan agama. Halal dan haram tidak dijadikan standar untuk berbuat. Melainkan karena dorongan kesenangan semata. Makanya kita dapatkan juga seorang pemangku kebijakan negara itu melakukan praktik korupsi. Karena asas yang ditepakan oleh negara hari ini adalah agama tidak dipakai untuk mengatur kehidupan.
Dalam sistem ini, dalam berpolitik transakisnya adalah politik balas budi. Politik balas budi yaitu Ketika mereka mencalonkan diri sebagai anggota pemerintahan mereka harus mengeluarkan uang yang banyak. Ketika mereka terpilih dalam artian sudah sah menjadi bagian dari anggota pemerintah maka mereka akan melakukan kerja sama dengan para pemodal (kapitalis) yang akan menguntungkan pejabat termasuk wakil rakyat. Disamping itu, mereka akan melegalkan aturan yang menguntungkan para kapitalis. Maka dari itu politik balas budi adalah untuk memperkaya diri dan golongan. Jadi, sudah tidak heran lagi anggaran yang mereka dapatkan sangatlah besar.
Hal ini berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem islam. Dalam islam, ada yang dikenal dengan majelis umat. Mereka adalah wakil rakyat namun peran dan fungsi mereka berbeda dengan sistem demokrasi. Mereka majelis umat dalam sistem islam mereka melakukan tugas mereka berdasarkan iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat untuk menjadi penyampai aspirasi rakyat.
Adanya majelis umat ini bermula ketika Nabi sering meminta pendapat dan nasehat dari sebagian kaum Muhajirin dan Ansar yang mewakili umat. Rasulullah sering meminta masukan dari para sahabat diantaranya Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Hamzah bin Abdul muthalib, Ali bin Abi Thalib, Salman al-Farisi dan Hudzaifah. Setelah itu, kaum muslim melajutkan aktivitas mengoreksi para pejabat pada masa khulafaurasyidin dan para khalifah setelahnya.
Anggota majelis pada sistem islam mereka punya kesadaran akan Amanah yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, mereka fokus akan tugas mereka sebagai wakil umat dan berusaha mewujudkan keinginan Masyarakat. Karena mereka menyadari tugasnya mereka akan Allah mintai pertanggung jawaban. Bukan merupakan priviledge (keistimewaan) yang diberikan negara sebagaimana hari ini.
Wallahu’alam bishowab.
(**)