Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINESHUKRIM

Remisi Napi Bukti Lemahnya Sistem Sanksi

×

Remisi Napi Bukti Lemahnya Sistem Sanksi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mona Fatnia

OPINI, mediasulutgo.com — Perihal hukuman tak ada yang bisa mengadili selain pada pencipta yang memiliki hak lebih. Namun segalanya tak berjalan sebagaimana keadilan yang sering didawamkan dalam setiap perhelatan, pun pada perbaikan yang sekiranya tak pernah terwujud padahal sering dikumandangkan pada agenda besar. Maka tak ada yang lebih lemah selain janji yang sering dipergilirkan tapi tak pernah membawa dampak lebih pada sekitarnya. Layaknya rumah tanpa atap dan pondasi yang kuat maka hanya akan mengakibatkan kerusakan yang tak terelak. Lantas bagaimana negara bisa mengatasi berbagai pelanggaran hukum  yang terjadi, sementara hari ini sistem sanksi yang diterapkan tak pernah adil dalam memutuskan. Pun sangat lemah dalam pengawasan.

Remisi : Overload dan Sanksi Lemah

Pasca perhelatan HUT Kemerderkaan ke-79 RI sabtu, 17 Agustus 2024, kebahagiaan dari warga lapas seperti ketiban duren di siang hari yang tiada duanya, pasalnya 176.984 narapidana dan anak binaan menerima Remisi Umum (RU) dan pengurangan Masa Pidana Umum (PMPU) 2024. Dari jumlah yang ada, 48 orang di antaranya langsung bebas. (Tempo, 18-8-2024)

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Namun hal itu bukanlah bentuk hadiah atas bertambahnya angka merah putih, tapi lebih kepada bentuk wujud apresiasi terhadap pencapaian perbaikan diri narapidana. Yang dengan itupun bisa memberikan stimulus bagi warga binaan agar sekiranya berkelakuan baik.

Ini pun sejalan dengan lapas lain, dimana Lapas Kelas I Cipinang yang terkenal dengan keamanannya yang tinggi ,sebanyak 2.369 orang narapidana mendapatkan remisi umum (RU). Yang masing-masing dari pemberian remisi tersebut ada yang dikurangi masa hukuman dan ada yang langsung bebas.(Antara,17-08-2024)

Menilisik lebih dalam kenapa bisa berbagai lapas yang ada dinegeri ini sering overload dan bahkan kapasitasnya tak memadai lagi untuk ditinggali. Seperti dalam data Institute for Crime and Policy Justice Research, pada 2021 Thailand, Indonesia, dan Filipina termasuk dalam 10 negara teratas dengan populasi penjara terbesar didunia. Dan berada di peringkat ke-22 lapas yang memiliki kelebihan kapasitas.

Fantastis bukan ketika melihat kondisi lapas yang sudah overload namun tak pernah ada gerakan cepat dalam menanggulangi jumlah narapidana yang terus membludak jumlahnya. Pada tahun 2023 lapas Indonesia telah mengalami kelebihan kapasitas hingga 89% yang pada faktanya lapas yang ada hanya mampu menampung untuk 140.424 orang. Tetapi dilapangan justru mengalami overload. Ini merujuk pada data Ditjen PAS Kemenkumham (2021), dimana terjadi kepadatan tidak merata pada setiap penjara. Dari 526 penjara dan rumah tahanan (rutan) di seluruh Indonesia, 399 di antaranya mengalami overload. Dan dari jumlah tersebut baik rutan/penjara mengalami overkapasitas di atas 100% dan bahkan diatas 500%.

Hal ini pun didukung oleh data dari Institute for Crime and Policy Justice Research, dimana jumlah orang dipenjara pada 2020 meningkat lima kali lipat dibanding pada 2000, yang artinya ini terjadi peningkatan hingga 10.000 orang per tahunnya. Dengan begitu Indonesia sendiri harusnya menyediakan kapasitas penjara paling tidak 10.000 orang per tahunnya atau setara dengan 34.000 meter persegi ruang tidur baru. (Muslimah News, 21-08-2024)

Maka wajar jika dari Menteri Kemenkumham sendiri memberikan remisi dan pengurangan masa pidana agar sekiranya pemerintah bisa menghemat anggaran negara lebih kurang Rp. 274, 36 miliar dalam pemberian makan kepada narapidana dan anak binaan. Tersebab besarnya angka kapasitas penjara yang jumlahnya  justru memprihatinkan. Alhasil bukan penurunan angka kriminal yang turun, melainkan terjadinya over kapasitas.

Layaknya padang rumput kering yang ditaburi bara api, yang dengan sendirinya bisa terbakar tanpa harus dinyalakan dengan api yang besar. Sehingga api kecil tadi bisa merembes dan malah membakar rumput yang lain, meski telah dipadamkan apinya tetap jalan. Artinya sistem sanksi yang mengatur hukuman bagi para narapidana hari ini adalah bukti bahwa remisi bukan solusi, berbagai jenis sanksi dilakukan meski nyawa sering menjadi taruhan,  pun pada vonis hukuman yang sering kali menggelitikan menandakan bahwa sistem sanksi hari ini terlalu banyak mainnya dari pada seriusnya. Yang dengan itulah berbagai pelanggaran hukum sering dianggap enteng oleh mereka yang terus berbuat kriminal.

Pada fakta yang sering terjadi, ratusan bahkan ribuan orang berkali-kali masuk penjara. Ini artinya, masuk keluar penjara bukan aib lagi bagi masyarakat umum, melainkan sudah seperti celana bekas yang setiap saat dipakai oleh pemiliknya. Karena sistem sanksi tidak menjerakan dengan mengakibatkan banyak terjadi kejahatan, bahkan makin lama makin beragam. Selain itu lapas menjadi overload.  Ditambah hukum hari ini juga  bisa dibeli. Tentu hal ini menjadi lapak jual bagi para pemilik kuasa yang dengan mudahnya menggunakan jabatan demi cuan yang tak terhingga.

Melihat sistem sanksi hari ini yang lebih berpihak kepada yang punya uang dari pada yang tertindas, hingga membuat para pelaku terus melakukan kejahatan serupa. Alih-alih sistem sanksi dipatuhi bahkan ditakuti oleh masyarakat, tapi malah dijadikan alat untuk mendapatkan uang. Maka jika melihat keadaan seperti ini terus menerus, lalu buat apa anggaran digelontorkan untuk membangun lapas dan rutan serta remisi yang setiap tahun dilakukan, jika sistem sanksi yang dibuat hanya jadi alat kuasa dan hanya menjadikan para pelanggarnya justru tak pernah jerah dalam melakukan kriminalitas ?

Karena pada faktanya, remisi napi yang sering diberikan tiap tahunnya bukanlah menjadi solusi mendasar apalagi untuk bisa menghemat uang saku negara. Yang dengan ini pun justru memantik para pelanggar hukum untuk terus melakukan kejahatan. Ini seperti menanam ubi pada tanah yang lembek, tapi berharap agar hasil ubinya besar. Tentu ini didasari pada beberapa hal ; Pertama, lemahnya kepribadian dari setiap individu yang segalanya dibarengi dengan hawa nafsu yang memuncak hingga akhirnya mudah melakukan kejahatan. Kedua, lemahnya ketakwaan individu ini ketika aturan agama tak dipakai dalam kehidupan untuk mengatur segala tindak-tanduk yang dilakukan tersebab adanya pemisahan agama dari kehidupan. Ketiga, kegagalan sistem pendidikan serta sistem sanksi yang dengan mudahnya dijadikan ladang bisnis bagi segelintir elit penguasa.

Oleh karenanya, remisi napi bukan solusi mendasar yang harusnya diselesaikan, karena akar masalahnya adalah pada sistem sanksi yang arahnya tak jelas dalam menaungi siapa, sebab selama sanksi masih tajam kebawah dan tumpul ke atas maka segala pintu kejahatan akan terus terbuka, karna lemahnya sanksi dalam memberikan hukuman yang benar pada pelaku kejahatan. Dan bukan tidak mungkin kejahatan akan semakin menjadi-jadi ketika hukum hanya memihak yang kuat, baik secara ekonomi, jabatan, atau jaringan orang dalam.

Islam Memberi Solusi

Pada perkara apapun yang sejatinya tak dilandasi hukum yang benar lagi terarah, maka pasti hasilnya nihil untuk bisa mendapatkan perbaikan. Terlebih solusi pada perbaikan  napi dalam lapas yang terus menggunung jumlahnya. Meski remisi narapidana menjadi jalan satu-satunya, namun sama saja berharap pada kotak kosong yang tak bisa apa-apa. Karena jalan untuk menyelesaikan masalah ini haruslah secara sistematis dan benar.

Inilah mengapa Sistem sanksi Islam yang berasal dari Allah diperlukan dalam berbagai hal termasuk krisis generasi pelaku kriminal, sehingga memberikan keadilan dan efek jera, serta mampu mencegah terjadinya kejahatan. Karena sistem pendidikan Islam sendiri memiliki tujuan yang jelas, yakni mencetak kepribadian Islam (syakhshiyah islamiah) yang dengannya dapat membentuk pola pikir dan pola sikap para peserta didik agar perilakunya sesuai dan terikat dengan hukum syara’. Ini terlihat bahwa sistem pendidikan Islam menjadi dasar dalam menghasilkan peserta didik yang memiliki ketakwaan tinggi, sehingga takwa itulah yang mendidik  mereka untuk menjadi individu yang peka terhadap aktivitas dakwah dalam menyebarkan pemikiran Islam. (Mnews, 21-08-2024).

Sistem Islam juga menyuburkan ketakwaan dalam diri setiap individu sehingga memudahkan proses hukum pelaku. Dengan ketakwaannya, pelaku tidak akan tahan berlama-lama menyimpan kesalahan, alih-alih menimpakan konsekuensi hukuman kepada orang lain yang bisa ditimbulkan, sebab ia sadar bahwa dirinya hanya makhluk lemah yang nanti akan dihisab oleh Allah Swt di padang mashyar.

Begitu juga pada masyarakatnya yang mereka hidup dengan dilandasi pemikiran,perasaan, dan peraturan yang sama-sama bersumber dari syariat Islam. Sehingga menghasilkan masyarakat kondusif yang mampu melahirkan orang-orang yang memiliki keterikatan terhadap syariat Islam.  Sehingga keinginan berbuat kejahatan semakin terminimalisir di tambah dengan penerapan sistem sanksi yang tegas dilakukan oleh negara. Karna jelas bahwa sistem sanksi dalam Islam tidak pandang bulu, melainkan adil dan tidak mengenal kompromi. Alhasil, tidak akan ada jual beli hukum.

Sebagaimana hadis riwayat dari Urwah bin Zubair  ra, yang ia berkata bahwa Nabi saw pernah berkhotbah dan menyampaikan :

“Sesungguhnya telah membinasakan umat sebelum kalian, ketika di antara orang-orang terpandang yang mencuri, mereka dibiarkan (tidak dikenakan sanksi hukuman). Namun ketika orang-orang lemah mencuri, mereka mewajibkan dikenakan hukuman had. Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku akan memotong tangannya.” (HR Bukhari Muslim)

Seharusnya ini menjadi pegangan kuat para pemimpin kita hari ini, dan seharusnya mereka menjadikan penyelesaian masalah berdasarkan ketetapan islam.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *