Oleh : Afra Shafiyah, S.Sos (Penyuluh Agama Islam)
OPINI,mediasulutgo.com, Terjadi lagi, Institusi penegak hukum kembali disorot terkait kasus narkoba. Sebagaimana diketahui, Kapolda Sumatra Barat Irjen Teddy Minahasa ditangkap karena diduga menjual barang bukti sabu-sabu seberta 5 kg. Kini, ia sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus penyalahgunaan narkoba. Ia dijerat Pasal 114 Ayat (2) subsider Pasal 112 Ayat (2), juncto Pasal 132 Ayat (1), juncto Pasal 55 UU 35/2009 dengan ancaman hukuman maksimal hukuman mati dan hukuman penjara minimal 20 tahun.
Belum usai kasus Sambo, kasus narkoba ini makin membuat malu dan babak belur wajah kepolisian RI. Tertangkapnya oknum polisi dalam kasus narkoba, bukanlah yang pertama. Berulang kali dan di berbagai wilayah, aparat yang seyogyanya memberantas peredarannya, justru masuk dalam cengkraman gurita narkoba.
Berdasarkan catatan Polri, anggota kepolisian yang terlibat narkoba dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada 2018, polisi yang terseret kasus narkoba mencapai 297 orang. Jumlah tersebut naik sekitar dua kali lipat pada 2019 menjadi 515 orang. Pada 2020, Polri telah memecat 113 anggotanya karena terlibat pelanggaran berat. Sepanjang 2021, menurut catatan IPW, sebanyak 352 anggota Polri dijatuhi sanksi pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Sungguh sangat disayangkan, institusi yang harusnya menjaga, melindungi, dan memberi rasa aman pada masyarakat justru menberikan contoh yang buruk dan membuat kepercayaan publik pada kepolisian menjadi hilang. Kemana lagi rakyat mendapat pertolongan atas tindakan kejahatan?
Banyaknya keterlibatan “oknum-oknum” polisi yang terjerat kasus narkoba membuat masyarakat mendesak agar institusi Polri melakukan pembenahan internal secara totalitas. Pada 14/10/2022, Presiden Jokowi memanggil seluruh pejabat dan perwira tinggi Polri ke Istana Negara. Dalam kesempatan itu, Jokowi membeberkan daftar persoalan yang harus dibenahi Polri, yaitu (1) gaya hidup; (2) tindakan sewenang-wenangan; (3) pelayanan masyarakat; (4) soliditas; (5) jangan gamang, apalagi cari selamat; (6) membersihkan judi daring; dan (7) komunikasi publik harus baik.
Upaya Kapolri dalam melakukan bersih-bersih internal aparat yang kedapatan berbuat kriminal memang patut kita apresiasi. Hanya saja, upaya tersebut juga harus diimbangi dengan perubahan mendasar di lembaga penegak hukum. Meski sudah ada UU untuk penanganan tindak pidana, rupanya masih belum cukup ampuh membuat jera para pelaku dan orang-orang yang berpotensi melakukan pidana.
Masalah Sistem
Perkara ini jelas sistematis kerena melibatkan ratusan anggota polisi. Institusi kepolisian mendapat sorotan tajam dari publik, sebab selama ini kepolisianlah yang berwenang menyelesaikan berbagai kasus narkoba. Jadi, selama peredaran narkoba melibatakan oknum penegak hukum, kasus narkoba mustahil bisa diberantas tuntas.
Masalah narkoba seolah menjadi lingkaran setan yang sulit diputus. Belum lagi terkait keuntungan yang sangat besar, menjadi pilihan menggiurkan bagi mereka yang kesulitan ekonomi. Kesempatan menjadi pemakai ataupun pengedar narkoba pun terbuka lebar bagi individu yang tidak bertakwa, apalagi jika sanksi negara tidak jua memberi efek jera.
Memutus rantai narkoba menuntut perombakan mental kapitalisme yang telah mengkar di tubuh umat dan pejabat negeri ini. Kapitalismelah yang melahirkan manusia-manusia yang menjadikan manfaat sebagai tolak ukur hidupnya. Selama bisnis yang ditekuni menghasilkan uang banyak, tidak peduli lagi akan halal dan haramanya. Juga tidak peduli merusak generasi ataukah menghancurkan negeri sekalipun.
Kapitalisme pula yang menjadikan yang sebagai panglima dalam kehidupan. Peraturan, sanksi, dan keadilan, seolah tidak berdaya berhadapan dengan kekuatan uang. Semua bisa dibungkam dengan uang. Selama negeri ini masih bersandar pada kapitalisme, jangan berharap gurita narkoba akan melemah dan hilang.
Butuh Perubahan Mendasar
Satu-satunya jalan adalah mengganti sistem kapitalisme yang rusak ini dengan sistem hanif, yakni Islam. Sistem Islam akan melahirkan individu dan masyarakat yang bermental takwa sekaligus melahirkan pemimpin dan aparatnya yang takwa lagi amanah dalam mengurusi umat sesuai syariat Ilahi.
Dari aspek paradigma, Islam harus menjadi jalan hidup seorang muslim. Setiap perilaku muslim harus sesuai tuntunan syariat. Maraknya penyalahgunaan narkoba yang selalu bermunculan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari paradigma kapitalisme sekuler. Sistem kehidupan kapitalisme sekuler telah membuat kehidupan hari ini berorientasi materi.
Pelaksanaan setiap aspek di atas hanya bisa diterapkan tatkala sistem tata kelola negara melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh. Umat ingin individu, masyarakat, penegak hukum, pejabat, dan penguasanya saleh, amanah, dan tepercaya. Oleh karenanya, umat harus hidup dalam sistem yang mewujudkan ketakwaan dan ketaatan komunal, bukan parsial atau personal, yakni dengan hidup di bawah pengaturan syariat Islam.