oleh : Maryam Yusuf
OPINI,mediasulutgo.com-
Kementerian Agama (Kemenag) bakal memberikan sanksi kepada satuan pendidikan atau sekolah di bawah Kemenag jika tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaganya. Hal ini tercantum dalam pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Beleid sudah ditandatangani Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022 (KOMPAS 14/10/2022)
Pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 terdapat 16 pasal yang diterbitkan dengan membuat beberapa point kata Anna, mengatur bentuk kekerasan seksual mencakup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Sesuai namanya, PMA ini mengatur tentang upaya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Satuan Pendidikan itu mencakup jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, serta meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan keagamaan.
Dari Januari-Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di 3 (25 persen) sekolah dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 9 (75 persen) satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 23 Juli 2022. Ini diungkapkan Retno dalam memperingati Hari Anak Nasional 2022.
Dari 12 kasus itu, sebanyak 31 persen kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki dan 69 persen anak perempuan.
Berdasarkan jenjang pendidikan, kasus kekerasan terjadi dijenjang SD sebanyak 2 kasus, jenjang SMP sebanyak 1 kasus, pondok pesantren 5 kasus, madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 kasus; dan 1 tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD. “Rentang usia korban antara 5-17 tahun.”
PMA PPKS mengatur tentang upaya penanganan pencegahan kekerasan seksual di satuan pendidikan pada Kemenag, baik jalur formal, nonformal, dan informal, meliputi madrasah, pesantren, dan satuan pendidikan lainnya.
Kemenag akan memberikan sanksi kepada satuan pendidikan atau sekolah di bawah Kemenag jika tidak melakukan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lembaganya.
PMA ini selaras dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS) yang baru disahkan April lalu, juga Permendikbudristek tentang PPKS yang disahkan pada 2021. Seluruhnya mengatur perbuatan apa saja yang terkategori kekerasan seksual yang pelakunya harus diberi sanksi, baik itu dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Namun demikian, publik masih sanksi atas keefektifan beleid tersebut. Selain sanksinya yang dianggap tidak menjerakan, juga masih banyak kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penyelesaian masalah ini. Sebagai contoh, hukum kebiri kimia bagi predator seksual. Hukuman ini dinilai tidak menjerakan sebab suntik kebiri hanya menghentikan hormon/libido sehingga tidak akan efektif jika motif sang predator adalah psikologi.
Begitu pun hukuman penjara, terbukti tidak efektif sebab sedari dulu hukuman ini ada, tetapi kejahatan seksual malah makin meningkat. Apalagi sanksi administrasi, tentu tidak akan membuat pelaku jera. Hukuman mati yang jelas menjerakan, justru sulit dieksekusi karena dianggap bertentangan dengan HAM. Lihatlah hingga kini, masih banyak pihak yang tidak setuju dengan hukuman mati Herry Wirawan, sang predator seksual. Jika pun hukuman mati benar-benar diterapkan, semua itu tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dengan tuntas sebab penerapannya tidak disertai dengan penyelesaian akar masalah.
Liberalisasi, Akar Persoalan
Selain hukumannya yang dianggap tidak menjerakan, juga banyak kebijakan yang kontraproduktif terhadap upaya penanggulangan kekerasan seksual. Misalnya, kurikulum pendidikan yang kian sekuler (memisahkan agama dengan kehidupan) menjadikan para pelajar dan pengajarnya jauh dari agama. Jika sudah tidak menjadikan agama sebagai landasan, mereka akan bertindak sesuai dengan hawa nafsu. Mereka hanya menginginkan kepuasan jasmani, yang penting senang, tidak peduli yang ia lakukan mudarat atau tidak. Inilah liberalisme, paham kebebasan bertingkah laku yang terus diinjeksikan ke negeri-negeri muslim.
Walhasil, sekalipun sekolah berbasis Islam, akan sulit terhindar dari budaya kufur ini sebab upaya liberalisasi begitu masif dari segala arah, baik pendidikan, keluarga, media, dan lainnya. Ini karena anak didik tidak bersentuhan dengan kiainya saja, mereka pun pasti terkena imbas dari budaya ini. Apalagi gawai sudah bukan barang baru bagi anak sekolah, termasuk para santri.
Terlebih lagi, program moderasi yang terus disuntikkan ke ponpes atau madrasah, menjadikan ajaran agama Islam harus menyesuaikan dengan Barat yang sekuler. Pemberdayaan ekonomi pesantren secara masif pun nyatanya malah menyibukkan santri dan pengajarnya untuk mendulang materi. Padahal, seharusnya mereka sibuk dengan belajar dan berdakwah demi tegaknya Islam.
Inilah potret buram pendidikan hari ini, yang berbasis agama pun tidak bisa lepas dari jerat sistem sekuler liberal. Lihatlah, seragam muslimah dipersoalkan, tetapi moderasi beragama malah diaruskan. Kegiatan keislaman di sekolah dan kampus dibatasi, bahkan banyak juga pengajian milenial yang dipersekusi. Namun, pada saat yang sama, kegiatan mubazir semisal konser musik, fesyen, dan lainnya, malah diapresiasi.
Lingkup pendidikan bahkan ikut-ikutan mengidap islamofobia. Lihatlah, buku ajar yang memuat ajaran Khilafah malah dirombak. Padahal, Khilafah adalah ajaran Islam yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan bangsa.
Walhasil, para pemuda pun makin jauh dari Islam. Mereka merasa bebas berekspresi termasuk ekspresi seksualnya. Mereka merasa bebas memilih menyukai sesama jenis, bebas melampiaskan libido kepada siapa pun dan apa pun. Tidak peduli mudarat yang didapat bagi orang sekitar. Mereka tidak takut dosa dan api neraka.
Peran Media dan Keluarga
Media di bawah asuhan kapitalisme membuat kebebasan para peserta didik makin liar. Industri pornografi menjadikan anak-anak sekolah kecanduan. Gim daring yang penuh visual vulgar juga akhirnya menemani anak-anak remaja.
Wajar jika kekerasan seksual pun meningkat. Lantas di mana peran negara? Sungguh sayang, alih-alih melindungi pemuda, negara malah terlihat melindungi korporasi dengan memuluskan semua kepentingan mereka.
Selain pendidikan dan media, keluarga pun menjadi faktor yang mendukung perilaku bejat terhadap anak-anak. Anak-anak tidak mendapatkan kasih sayang dan pendidikan agama dari rumah mereka. Ayah dan ibu sibuk dengan urusannya masing-masing. Ibu yang seharusnya hadir memberikan kehangatan di dalam rumah, atas nama kesetaraan gender, para ibu mencari eksistensi di luar rumah. Para ayah yang seharusnya jadi teladan bagi anak-anak mereka, nyatanya tidak pernah hadir. Bahkan, banyak kasus kejahatan seksual justru terjadi di rumah. Ayah yang seharusnya melindungi, juga malah menjadi predator bagi anak-anaknya. Sungguh menyesakkan dada, rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, nyatanya juga tidak aman.
Islam Menyolusi Hingga Tuntas
Dengan demikian, terdapat banyak faktor yang berperan atas maraknya kekerasan di satuan pendidikan di bawah koordinasi Kemenag. PMA PPKS tidak akan mampu memberantas tuntas sebab pemberantasannya membutuhkan langkah komprehensif yang menyasar akar masalah, tidak cukup sekadar di lingkungan Kemenag.
Jika ingin persoalan ini selesai, benahi dahulu sistem pendidikannya agar tidak sekuler. Media juga tidak boleh di bawah kendali korporasi. Pemerintah harus bisa mengendalikan media agar yang tersodorkan pada seluruh warga adalah kebaikan. Begitu pun keluarga, rumah harus menjadi tempat teraman dan ternyaman.
Hanya saja, semua itu tidak mungkin bisa terlaksana dalam sistem hari ini. Dalam sistem demokrasi, justru negaralah yang berada di garda terdepan dalam menjamin kebebasan bertingkah laku. Oleh sebab itu, solusi agar persoalan kekerasan seksual selesai tuntas adalah penerapan Islam kafah dalam bingkai Khilafah.
Pertama, seluruh perbuatan hamba terikat dengan syariat sehingga perilaku predator seksual tidak akan marak dalam masyarakat Islam. Ini karena seseorang yang beriman akan senantiasa menjaga perbuatannya dari kemaksiatan.
Kedua, jawil (suasana) iman yang tinggi di tengah umat bukan terjadi dengan sendirinya. Negaralah yang bertanggung jawab memelihara ketakwaan warganya. Negara juga akan mengontrol penuh media sehingga segala yang sampai pada umat hanyalah kebaikan.
Ketiga, sistem pendidikan berbasis akidah. Anak-anak sedari kecil akan memahami agamanya sebagai solusi seluruh permasalahannya. Tidak ada dikotomi antara pendidikan berbasis agama dengan yang tidak. Dalam Islam, seluruh jenjang pendidikan adalah berdasarkan akidah Islam.
Keempat, keluarga dalam Islam adalah benteng pertama dalam penjagaan ketakwaan individu. Para ibu akan kembali kepada fungsinya, yaitu ummun warabbatul bait. Isu kesetaraan gender yang sesat akan dihapuskan dari para ibu agar mereka selalu paham bahwa kemuliaan wanita adalah ketika ia menjalankan fungsinya sebagai ibu dan manajer rumah tangga. wallahua’lam.