Scroll keatas untuk lihat konten
OPINIHEADLINES

Konversi Kompor dan Mobil Listrik Disaat Rakyat Kesusahan, Siapakah Yang Bertanggungjawab?

×

Konversi Kompor dan Mobil Listrik Disaat Rakyat Kesusahan, Siapakah Yang Bertanggungjawab?

Sebarkan artikel ini

Oleh : Rostia Mile

Penulis adalah Mahasiswa UNG

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

OPINI,mediasulutgo.com-“Indonesia dalam derita”, sepertinya cocok menjadi headline news di media massa di negeri ini. Rakyat tengah berduka dan kelimpungan mengatasi efek domino terkait konversi kompor dan mobil listrik. Jerit tangis rakyat nyaris tidak terdengar karena air mata telah kering dan suara pun parau. Episode kehidupan manusia dalam sistem kapitalisme begitu ironis. Sebelumnya, emak-emak meradang karena harga minyak goreng (migor) melambung tinggi. Antrian panjang yang mengular rela dilakukan demi seliter atau dua liter migor. Belum sembuh luka hati karena dikhianati oleh penguasa dengan naiknya harga migor, kini luka itu “disiram dengan air garam” dengan menggantikan kompor gas ke kompor listrik. Perih dan sangat menyakitkan.

Baru-baru ini Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Perintah tersebut tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 tahun 2022 terkait percepatan penggunaan kendaraan listrik berbasis baterai (battery electric vehicle) sebagai kendaraan dinas operasional, dan atau kendaraan perorangan dinas instansi pemerintah pusat dan daerah (Liputan6.com, 18/9/2022).

Selain itu, tahun ini pemerintah akan membagikan paket kompor listrik secara gratis ke 300.000 orang. Pembagian paket kompor listrik ini merupakan pelaksanaan program konversi kompor listrik dari kompor yang sebelumnya menggunakan elpiji 3 kilogram. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang melakukan uji coba konversi kompor gas LPG 3 kg ke kompor listrik 1.000 watt. Pemerintah membagikan 2.000 paket kompor listrik untuk uji coba di Denpasar dan Solo. Nantinya, hasil uji coba akan dievaluasi dan menjadi dasar pelaksanaan konversi yang lebih masif tahun depan.

Tercatat, berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), hingga 31/12/2021 jumlah cadangan terbukti gas alam RI mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF). Jumlah ini masih bisa meningkat jika kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Setidaknya Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin), 20 cekungan sudah berproduksi dan 27 lainnya baru dibor dan ditemukan cadangan terbukti gas.

Rostia Mile, Penulis

Beban rakyat yang semakin bertambah

Respons masyarakat menghadapi situasi ini cukup beragam. Sebagian ramai-ramai beralih ke LPG bersubsidi, meski faktanya mereka tidak termasuk sasaran kebijakan subsidi LPG. Kebetulan, hingga saat ini gas bersubsidi masih dijual bebas dan pada saat yang sama kontrol pemerintah juga sangat lemah. Sebagian lagi ada yang memilih segera beralih ke kompor listrik. Apalagi entah kebetulan atau tidak saat ini pemerintah melalui PT PLN (Persero) memang sedang mengampanyekan penggunaan kompor induksi atau kompor listrik. Bahkan, PLN mematok target pada 2024 nanti pengguna kompor listrik bisa mencapai angka 8,5 juta.

PLN juga meyakinkan bahwa konversi ini bisa menekan impor LPG yang jumlahnya sangat tinggi. Tercatat, nilai impor LPG saat ini mencapai 80% dari total kebutuhan, yakni sekitar 6—7 juta ton per tahunnya. Rupa-rupanya, inilah yang selama ini menjadi akar problem kisruh LPG. Harga LPG sering kali tidak terkendali karena kita sangat tergantung impor. Sementara, harga barang-barang impor tentu sangat tergantung pada kondisi pasar dan situasi internasional. Benar-benar di luar kendali.

Sebagaimana diketahui juga, terkait proyek konversi kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik merupakan salah satu proyek ambisius pemerintahan Jokowi. Ambisi ini tampak pada salah satu pidato Presiden yang menekankan pentingnya Indonesia menjadi pemain utama dalam pengembangan industri kendaraan dan mobil listrik global. Ia mengatakan, 60% kunci dari kendaraan listrik ini ada pada baterainya, sedangkan bahan pembuat baterai ini, yakni nikel, ada di Indonesia.

Oleh karena itu, pemerintah pun sudah menyiapkan sebuah roadmap pengembangan kendaraan listrik sebagai panduan. Proyek yang landasan aturannya tertuang dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019 ini tampaknya sedang digenjot untuk bisa terwujud pada akhir periode pemerintahan keduanya saat ini.

Rakyat harus sembuh dari amnesia, penyakit lupa sesaat karena menerima suapan janji para politisi dan penguasa. Apakah tidak kapok, terus jungkir balik dalam kotak yang sama dan ujung-ujungnya tertipu juga? Begitu apiknya mereka (politisi dan penguasa) melakoni peran sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Tidak main-main, mereka bahkan berani disumpah dengan Al-Qur’an jika melanggar setiap janji yang disampaikan. Mengurus negara memang bukan pekerjaan mudah. Namun, menganggap hak rakyat untuk mendapatkan subsidi sebagai beban adalah keterlaluan. Negara yang memandang rakyat sebagai beban hakikatnya adalah negara kapitalis.

Doktrin ideologi kapitalisme mengajarkan bahwa negara menyerahkan kegiatan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar. Minim campur tangan negara. Warga yang hidup dalam ideologi kapitalisme harus menjalani skema survival of the fittest. Tidak aneh jika rakyat sering mendengar pernyataan politisi dan pejabat negara yang meminta rakyat untuk berjuang sendiri. Ketika harga minyak goreng meroket dan langka di pasaran, rakyat dianjurkan mengurangi memasak dengan cara menggoreng. Ketika harga cabai naik, rakyat diminta untuk berkebun cabai di halaman rumah. Ketika harga beras naik, ada seruan agar rakyat miskin melakukan diet. Jangan banyak makan. Ketika harga telur naik, rakyat diminta juga jangan meributkannya.

Bantuan yang disiapkan pemerintah ada, tetapi diberikan secara selektif, bukan untuk seluruh rakyat.

Siapakah yang akan bertanggungjawab?

Sayangnya, pemerintah sendiri tampak tidak berdaya untuk mencari solusi hingga ke akar. Kalaupun ada, sifatnya hanya pragmatis dan tidak jelas arahnya ke mana. Selain cenderung berwacana, juga tampak banyak kepentingan yang berkelindan di sana. Sebagai contoh, gagasan gasifikasi batu bara menjadi DME (Dimethyl Ether) yang sempat dibangga-banggakan dan menjadi proyek berbiaya jumbo, nyatanya hingga kini belum tampak ada kemajuan. Begitu pula, proyek elektrisasi kompor yang dicanangkan sejak beberapa tahun belakangan kian hari justru kian kental dengan aroma bisnis.

Adapun wacana penggunaan gas bumi sebagai pengganti LPG juga tampak tidak serius untuk segera diwujudkan. Pada 2021 lalu saja, infrastruktur jaringan gas kota yang berhasil dibangun baru mencapai 127 ribu sambungan rumah. Padahal, potensi sumber daya gas bumi jelas sangat besar sehingga besarnya kebutuhan masyarakat terhadap energi bisa dipenuhi dengan biaya yang sangat murah.

Masalahnya memang menjadi tidak sederhana karena semua problem ini terkait paradigma kepemimpinan. Dalam bingkai negara sekuler kapitalisme liberal yang dengan malu-malu dianut negeri ini, pengurusan urusan rakyat harus masuk dalam teori hitung dagang. Artinya, pihak penguasa atau negara pasti akan memosisikan diri sebagaimana layaknya pedagang atau badan usaha. Kolaborasi antara penguasa dan pengusaha dalam menyetir kebijakan negara juga sangat kental. Wajar jika banyak kebijakan publik yang hanya fokus mengakomodasi kepentingan pebisnis, sedangkan kepentingan rakyat banyak kerap dikorbankan.

Bahkan, dalam sistem ini, sumber-sumber kekayaan yang semestinya merupakan milik publik, seperti migas dan sumber daya alam lain yang jumlahnya melimpah ruah ini bisa dimiliki dan diatur oleh pemilik cuan. Sementara rakyat hidup dalam posisi tercekik karena mesti membayar mahal segala hal yang semestinya menjadi hak mereka.

Oleh karena itu, tampak bahwa pemerintah telah gagal fokus dalam menjalankan fungsi kepemimpinan. Alih-alih fokus pada upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat dan membangun kedaulatan serta kemandirian negara, pemerintah malah sibuk mengejar proyek ambisius hanya demi pencitraan dan mengakomodasi kepentingan swasta lokal maupun asing yang berorientasi memperbesar kapital dan berdampak makin lebarnya gap sosial sekaligus mengukuhkan penjajahan.

Pemerintah tampaknya belum puas dengan puluhan proyek mercusuar yang nyatanya sudah berhasil menenggelamkan negeri ini pada jeratan utang. Sebut saja, proyek pembangunan bandara internasional, bendungan, proyek kereta cepat, jalan tol, dan pembangunan transmisi listrik antarpulau. Padahal, mirisnya, sebagian proyek itu berakhir mangkrak dan nyaris tidak fungsional. Bahkan rata-rata menyisakan banyak persoalan dalam hubungan rakyat dan negara, semisal soal pertanahan.

Namun, masalahnya, proyek-proyek ini digarap dengan skema bisnis, baik dioperatori oleh perusahaan pelat merah, swasta lokal, bahkan asing. Meskipun proyek ini berhasil, nyatanya hanya menyelesaikan sebagian problem ketersediaan barang saja. Sementara, jangkauan distribusi dan harganya tetap saja bermasalah.

Inilah karakter kepemimpinan sekuler kapitalisme neoliberal. Yang menjadi standar dalam seluruh perbuatan adalah kemanfaatan subjektif, sementara standar kebahagiaan dan kesuksesan hanya diukur dari capaian nilai material. Padahal, sejatinya semua itu hanyalah angan-angan dan tak menyentuh sisi kemanusiaan yang dibutuhkan oleh umat secara keseluruhan.

Pemerintah memang sudah semestinya memaksimalkan ikhtiar untuk menyelesaikan seluruh problem yang dihadapi bangsa. Pemerintah pun tidak salah jika ingin tampil terdepan di kancah global dalam inovasi dan pembangunan ekonominya. Namun, ambisi ini tentu tidak boleh mengorbankan kepentingan yang lebih besar dan lebih riil, yakni urusan mewujudkan kesejahteraan rakyat dan menjaga kedaulatan negara.

Lantas apa yang harus dilakukan?

Inilah karakter kepemimpinan sekuler kapitalisme neoliberal. Yang menjadi standar dalam seluruh perbuatan adalah kemanfaatan subjektif, sementara standar kebahagiaan dan kesuksesan hanya diukur dari capaian nilai material. Padahal, sejatinya semua itu hanyalah angan-angan dan tak menyentuh sisi kemanusiaan yang dibutuhkan oleh umat secara keseluruhan.

Hal ini tentu berbeda dengan paradigma Islam. Dalam Islam, kepemimpinan berfungsi sebagai pengurus dan penjaga umat individu per individu. Fungsi ini dipastikan akan bisa mewujud melalui penerapan hukum Islam secara utuh dalam sistem  Islam yang tegak di atas empat pilar, yakni kedaulatan di tangan syarak, kekuasaan di tangan umat, hak formalisasi ada pada pemimpin Islam, dan kesatuan seluruh umat dalam satu kepemimpinan.

Keidealan performa kepemimpinan Islam dalam mewujudkan fungsinya ini bisa kita baca dalam sejarah yang ditulis dengan tinta emas. Tingginya peradaban Islam, dan kemajuan material yang dicapai selama belasan abad, membuktikan bahwa pembangunan yang dilakukan negara di bawah tuntunan syariat benar-benar telah membawa kesejahteraan hakiki tanpa menanggalkan sisi-sisi kemanusiaan dan mencederai keseimbangan alam.

Hal ini memang sejalan dengan misi penciptaan manusia. Yakni menjadikan mereka sebagai hamba Allah, sekaligus pemimpin di muka bumi. Misi penciptaan ini sepaket dengan syariat yang diturunkan sebagai tuntunan hidup yang bersifat abadi dan bisa diaplikasikan di semua masa dan tempat.

Kehidupan Islam inilah yang semestinya kembali kita wujudkan, dengan jalan memperjuangkan  kepemimpinan  Islam sebagai institusi penegak syariat. Perjuangan ini harus menjadi agenda bersama umat tatkala mereka menginginkan keluar dari kegelapan dan kerusakan sistem sekuler kapitalisme neoliberal yang sejatinya bisa dirasakan oleh semua orang. Wallahu ‘alam….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *