Oleh: Yati Suharyati, S.Pd
(Penulis adalah sarjana pendidikan sejarah UNG)
OPINI, mediasulutgo.com — Tanggal 21 April lalu bagi perempuan Indonesia adalah hari khusus untuk memperingati hari perjuangan RA Kartini. Tapi sayangnya momen perjuangan tersebut selalu diwarni dengan simbol-simbol feminis yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam kehidupan perempuan. Peringatan Hari Kartini di bulan Apri tahun ini tiada bedanya dengan peringatan yang sudah-sudah. Dilansir dari suara.com (21/4/2022) Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengingatkan agar setiap perempuan perlu meneladani semangat Kartini yang tanpa lelah memperjuangkan emansipasi kaum hawa. Menurutnya, perempuan harus mendapatkan pendidikan, wawasan, dan diberikan kesempatan untuk berkarir di ranah publik.
Tidak ketinggalan pegiat feminis di skala lokal Gorontalo pun turut bersuara. Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Gorontalo, Prof. Fory Armin Naway, M.Pd berharap Kartini-Kartini di Gorontalo bisa menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi, sehingga mereka mampu menggeliatkan peran kaum perempuan dengan berkiprah melanjutkan perjuangan Kartini dalam bentuk apa pun (gorontalokab.go.id).
Para pegiat feminis tidak henti-hentinya menjadikan Kartini sebagai sosok representasi emansipasi perempuan abad modern. Memang benar, R.A Kartini pernah menggunakan kecerdasannya untuk mengkritik kesetaraan antara laki-laki dan perempuan pada masanya. Itu diketahui melalui surat-suratnya yang kemudian dikumpulkan menjadi buku berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kartini menyoroti banyak hal tentang posisi perempuan di negerinya saat itu. Namun kesetaraan yang menjadi titik perjuangan Kartini tidak lain ialah perjuangan mendapatkan hak pendidikan dan pengajaran antara laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana yang pernah Kartini tuliskan di dalam suratnya “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (surat Kartini kepada Prof. Anton dan istrinya pada 4 Oktober 1902).
Kesetaraan pengajaran yang dituntut Kartini bukan semata-mata menuntut perempuan untuk menyaingi laki-laki. Tapi Kartini menuntut pendidikan juga dibutuhkan oleh para perempuan sebagai calon ibu pelahir generasi yang berkewajiban mendidik dengan menggunakan modal kecerdasan yang dimiliki.