Scroll keatas untuk lihat konten
HEADLINESGORONTALOPENDIDIKAN

Krisis Popularitas

×

Krisis Popularitas

Sebarkan artikel ini
Prof Fory Naway,
Foto: Irfan

GORONTALO, mediasulutgo.com — Popuparitas atau dalam pengertian sederhanaya sebagai keterkenalan, terkadang menjadi dambaan banyak orang. Namun idealnya, popularitas itu bukan menjadi tujuan, obsesi dan cita-cita, tapi sebagai dampak atau adanya sebab-akibat. Seorang artis mendulang popluaritas, bukan karena ia bercita-cita menjadi terkenal, tapi karena suaranya merdu, lagu yang dibawakannya banyak penggemar. Seorang Thomas Alfa Edison menjadi terkenal di seluruh dunia, bukan karena cita-citanya untuk menjadi terkenal, tapi karena prestasi dan penemuannya. Seorang Valentino Rosi, Maradona, Ronaldo, Muhamad Ali  dan masih banyak lagi tokoh lainnya, menjadi sangat terkenal di seluruh dunia, semata-mata  karena prestasi mereka yang melampui prestasi dari kebanyakan orang.

Dari sini dapat dimaknai, bahwa popularitas dapat digapai oleh siapapun, sepanjang orang itu berprestasi sesuai bidang yang digelutinya atau memiliki kiprah dan dedikasi yang “lebih” dari orang kebanyakan. Selain prestasi, banyak juga tokoh-tokoh dunia maupun tokoh-tokoh nasional yang populer dan dikenang sepanjang masa, karena keluhuran budinya, karena idealismenya, jasa dan pengorbanannya, perjuangan, kerja kerasnya bagi kemanusiaan serta perjuangannya yang gigih dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Tingkat popularitas juga memiliki batasan-batasan geografis. Ada yang memiliki popularitas dalam skala global (Internasional), ada yang hanya populer di negaranya sendiri (nasional) ada yang populer di tingkat regional, ada yang hanya populer di tingkat Kabupaten atau Kota. Bahkan ada yang hanya populer di tingkat kecamatan, tingkat desa atau kelurahan, dusun hingga di tingkat RT/RW. Ada juga yang terkenal hanya dalam sebuah komunitas atau organisasi tertentu.

Oleh karena itu, popularitas tidak perlu dicari dan dikejar, apalagi direkayasa.  Tugas seorang individu di manapun adalah bekerja, berkiprah dan berprestasi melebihi prestasi dari kebanyakan orang. Jika itu yang terjadi, maka popularitas akan mendekat. Namun popularitas yang diraih, bukanlah sebuah kebanggaan, bukan pula menjadi sumber kesombongan dan keangkuhan. Itulah sebabnya, mendiang mantan Presiden Amerika Serikat, Abraham Lonclon pernah berpesan “Hindarilah popularitas jika anda menginginkan kedamaian”. Karena popularitas bukanlah ukuran dan menjadi wahana meraih kebahagiaan, justru sebaliknya, tidak sedikit mereka yang meraih popularitas hidupnya berakhir tragis.

Hal ini menjadi bahan renungan bagi siapapun kita, bahwa akhir-akhir ini, apalagi di era medsos sekarang, banyak orang yang terjebak pada euforia, untuk meraih poularitas, bukan dengan  unjuk prestasi, tapi dengan cara-cara yang tidak elegan, tidak terhormat bahkan mengabaikan norma dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Fenomena ini menggambarkan bahwa terdapat  “krisis popularitas” yang menggejala di tengah kita, yakni dorongan untuk meraih popularitas dengan cara yang instan dan menghalalkan segala cara. Indikasi ini dapat dilihat dari fenomena di Medsos dewasa ini, yang yang terkadang memicu kontroversi dan perdebatan, seperti mengumbar aib orang lain, bangga menghina dan melecehkan organisasi dan agama orang lain, bahkan memposting konten-konten yang tidak etis lainnya tanpa rasa mal, bahkan merasa bangga karena ia menjadi bahan pembicaraan.

Indikasi krisis lainnya, dapat dilihat dari fenomena merebaknya kebaikan dan kedermawanan, namun bukan karena panggilan agama dan kemanusiaan, tapi sengaja menciptakan ruang dan momentum untuk mencari dan mengukuhkan popularitas. Hal ini menjadi indikasi mulai runtuhnya nilai ketulusan dan keikhlasan. Misalnya tampil memberikan bantuan pada warga yang tengah dihimpit kesulitan, namun terkesan penuh sensasi hingga mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan atau melecehkan derajat dan martabat orang yang diberi bantuan.

Ditinjau dari perspektif Agama, kedermawanan, kepedulian dan saling membantu, terutama mengulurkan bantuan bagi orang yang tengah dihimpit kesulitan,  adalah potret akhlak yang baik dan akan memperoleh pahala yang melimpah dari Allah SWT. Namun, agama juga mengajarkan bahwa kedermawanan itu tetap dalam bingkai ketulusan dan keikhlasan, membantu tanpa tendensi dan sensasi keriyaan atau  “tangan kanan memberi tidak harus diketahui oleh tangan kiri”.

Artinya, kedermawanan tidak harus diumbar, apalagi melecehkan harga diri kemanusiaan bagi yang diberi bantuan. Bersimpati dan mengekspresikan kedermawanan tidak harus dengan sensasi berlebihan, jika perlu dilakukan secara sembnyi-sembunyi. Bagaimanapun, kedermawanan yang penuh sensasi dan jauh dari nilai keikhlasan, bukan hanya sekadar melukai harga diri kemanusiaan bagi yang diberi, tapi juga tidak elegan dalam pandangan orang. Kedermawanan dan rasa simpatik untuk membantu kesulitan orang lain, dalam tataran ideal dan dalam perspektif agama,  memilki ruang etis tersendiri, dilakukan secara diam-diam, hanya Allah SWT, dia dan  yang diberi yang mengetahuinya.

Ungkapan ini mengandung hikmah yang patut dimaknai oleh siapapun, terutama dalam konteks lokal Gorontalo, bahwa berbuat baik dan kedermawanan memiliki ruang ekspektasi yang tetap memperhatikan nilai kepatutan dan kewajaran. Tidak tampil “norak”, atau dalam perspektif orang Gorontalo disebut dengan Meantdo atau mentang-mentang, Me’epo’ota atau ingin tampil mengesankan yang justru memicu pemandangan yang kurang elok.

Ingin hendak dikesankan “o dulopa Lo tawu” sebagai seorang yang dermawan, justru dalam prakteknya mengundang kesan riya dan sekadar membangun citra yang salah kaprah. Apalagi di tengah situasi Gorontalo saat ini, dimana beberapa titik di kawasan Gorontalo yang tengah dilanda banjir, maka ekspresi rasa simpatik dan panggilan kemanusiaan pada mereka yang menjadi korban banjir misalnya,  dapat dimanifestasikan secara lebih bermartabat.

Artinya, musibah banjir, tanah longsor, kebakaran rumah warga  dan apapun yang mendera warga, sejatinya bukan menjadi ruang dan obyek pencitraan. Sebaliknya menjadi ajang membangun konstruksi kemanusiaan yang hakiki,  tulus, ikhlas tanpa menghadirkan panggung keriyaan, menciptakan sensasi untuk popularitas. Karena sesungguhnya harga diri kemanusiaan jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan hanya sekadar uluran tangan keriyaan bagi sebuah popularitas.

Yang menjadi catatan penting, segala bentuk musibah yang menimpa warga, bukanlah momentum yang tepat untuk membangun citra dan popularitas. Popularitas hanya dapat diraih melalui prestasi, karya dan karsa. Karena sesungguhnya, di era sekarang ini, rakyat butuh solusi dan keteladanan bukan butuh sensasi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *