GORONTALO, mediasulutgo.com — Istilah “Move on” dalam Bahasa Inggris berarti pindah atau berpindah, yakni berpindah dari satu tempat ke tempat lain. namun dalam penggunaannya, kata ini lebih banyak dikenal dan digunakan oleh kalangan anak muda yang identik dan diidentikkan dengan “percintaan” Meski sebenarnya istilah ini bersifat general, tidak selalu tentang masalah percintaan, namun, di kalangan anak muda, move on senantiasa diartikan dengan berpindah ke lain hati atau membuka diri untuk menerima cinta dari orang lain setelah hubungan asmaranya dengan sang mantan berakhir. Orang yang sudah move on dalam konteks percintaan, biasanya tidak lagi sakit hati, tidak lagi menyimpan kekecewaan, tidak lagi memiliki “rasa” karena sudah mendapatkan tambatan hati yang memiliki “nilai lebih”.
Yang menarik, istilah Move On akhir-akhir ini ternyata tidak hanya dijumpai di kalangan anak-anak muda, terutama mereka yang tengah dibuai asmara atau percintaan, tapi juga telah merambah ke dalam konteks yang lebih luas cakupannya, antara lain dalam persoalan status sosial, kehidupan ekonomi dan politik seseorang. Hal itulah yang mungkin menjadi penyebab utama, mengapa istilah “move on” kian populer di tengah masyarakat kita.
Dalam konteks status sosial, gaya hidup dan kondisi ekonomi seseorang misanya, banyak kasus, dimana orang yang tadinya hidup kaya dan berkecukupan tiba-tiba bangkrut sehingga sulit “move on” menerima kenyataan, hingga ia menjadi stres dan depresi. Demikian juga dalam politik, apalagi di era demokrasi saat ini, banyak para politisi yang ternyata sulit “move on” karena gagal menggapai cita-cita dan obsesinya saat Pemilu atau Pemilukada. Karena sulit move on itulah, maka dalam banyak kasus di Indonesia bahkan di luar negeri, tidak jarang ada beberapa politisi yang kehilangan kendali, stres dan depresi yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya kualitas berpikir yang rasional
Karena bersifat general dan sudah luas cakupan penggunaannya di berbagai sektor kehidupan, maka kata “move on” dapat menjadi rujukan bagi siapapun sebagai rambu-rambu “pengendalian diri”. Dengan kata lain, istilah ini sebenarnya mengandung hikmah dan pembelajaran berharga yang sejalan dengan perspektif agama, bahwa di dunia ini mencintai sesuatu hanya sekadarnya saja, tidak boleh berlebihan agar mudah move on.
Bagaimanapun, orang yang sulit move on itu sudah pasti sulit juga berdamai dengan masa lalu dan sulit berdamai dengan dirinya sendiri. Hal itu membawa konsekwesi yang lebih riskan dan berbahaya, karena dapat berdampak terhadap kesehatan psikis, seperti sakit hati, stres, depresi dan gangguan mental lainnya. Jika merujuk pada pendekatan agama, orang yang sulit move on itu dipicu oleh kurangnya penghayatan terhadap eksistensi Tuhan Sang Maha Pencipta, sehingga hati menjadi berat dan gundah-gulana yang berimbas pada ouput sikap yang terkadang “nyeleneh” dengan ucapan dan tindakan yang tidak terukur, tidak rasional atau terkesan ucapan dan tindakannya tidak lagi terkontrol. Semua itu, jelas tertutupi oleh “cinta” yang berlebih sehingga sulit menerima kenyataan.
Padahal, dalam realitas kehidupan yang sesungguhnya, move on sebenarnya menjadi qudrat manusia, karena hidup itu dinamis, bergerak dan selalu berubah. Hari ini bisa saja hidup seseorang tidak bagus, namun esok-lusa nasib hidupnya bisa saja berubah menjadi baik. Demikian pula sebaliknya, hari ini kondisi hidupnya baik, namun bisa saja esok lusa berubah drastis menjadi tidak baik. Dari sinilah esensi pemaknaan kesejatian hidup yang hakiki itu dapat diperoleh.
Dari sini jelas, yang menjadi faktor utama penentu seseorang itu mudah move on atau sulit move on, sangat bergantung pada performance pikiran, yakni berpikir positif dan membuang jauh-jauh pikiran negatif.