Scroll keatas untuk lihat konten
Uncategorized

Anotomi Pancasila Sebagai Kohesi Dalam Kelangsungan Perjanjian Luhur Bangsa

×

Anotomi Pancasila Sebagai Kohesi Dalam Kelangsungan Perjanjian Luhur Bangsa

Sebarkan artikel ini

Ketiga, Partai Politik adalah sumber kader. Partai politik mestinya menjadi alat integrasi nasional. Dalam konteks ideologi tadi, silahkan Partai Politik menyampaikan pandangan-pandangannya, namun tetap dalam kerangka Pancasila, makanya pemahaman tentang anatomi Pancasila menjadi sangat penting. Karena jika tidak, partai-partai politik ini menjadi seenak perut menafsirkan apa itu Pancasila. Yang sebetulnya, Pancasila itu dipahami dari aspek anatominya, yaitu berangkat dari pemahaman Pancasila dari Pidato Presiden Sukarno 1 Juni 1945. Ingat di dalam dokumen, pikiran Bung Karno itu diterima secara aklamasi dan dari kesepakatan itulah lahir tim yang menyusun naskah UUD yang berangkat dari kesepakatan tadi, bahwa Indonesia itu tidak dilahirkan untuk sewindu, tetapi untuk selamanya, Bahwa Indonesia itu dilahirkan Satu untuk Semua dan Semua untuk Satu Indonesia. Ketika ada pikiran yang berbeda dengan itum jelas ini adalah anasir yang sudah menyimpang dari cita-cita luhur. Ini perlu digarisbawahi oleh pemerintah pembersihannya juga dilakukan lewat partai-partai politik harus betul-betul mengemban tanggungjawab sejarah sebagai alat integrasi nasional. Dan juga menjadi alat dan pembawa pesan tentang kesejukan bagi bangsa ini. Jika ini yang dikerjakan oleh bangsa ini, maka mimpi kelompok-kelompok tertentu untuk menggunakan jalur-jalur konstitusi itu pasti tereliminasi dengan sendirinya.

Nah, bagaimana dengan hari ini? Problem kita sekarang, bagaimana antara hak asasi dan harapan akan keutuhan masyarakat bangsa ini yang tumbuh sebagai masyarakat yang holistik. Jadi kita bicara bangsa Indonesia, itu kan tidak terhindarkan kita bicara tentang kebhinekaan. Tetapi, dalam kebhinekaan itulah lahir kesepakatan luhur kita untuk mewujudnyatakan ke-tunggal-ika-an. Prinsip-prinsip dalam ketunggal-ikaan itu sesungguhnya adalah: Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Itu sebetulnya menjadi spirit nasionalisme Indonesia. Inilah yang harus dipahami partai-partai politik Indonesia. Sehingga hari ini, jikalau kita bicara tentang pembersihan parlemen dari anasir-anasir tadi itu harusnya menjadi Kerjasama dari kita semua. Bagaimana partai politik itu membangun opini demi kepentingan Indonesia yang Bersatu, dalam kepentingan hendak mewujudkan sebuah semangat bahwa, Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Dan rakyat bisa berpartisipasi memilih dalam pemilu dengan melihat partai-partai mana yang serius, yang serius, yang serius akan tanggungjawab untuk menjadi alat integrasi nasional. Kita tidak bermaksud untuk mewaspadai kelompok-kelompok tertentu, akan tetapi adalah sebuah keharusan bagi kita untuk melakukan sebuah deteksi bahwa ada partai-partai politik yang masih menjadi kekuatan asing. Meskipun era perang dingin telah berakhir, tetapi ada satu kekuatan yang kita namakan kekuatan trans-nasional. Nah, partai-partai politik Indonesia haruslah steril dari kekuatan-kekuatan ini. Sebab kalau kita mewaspadai trans-nasional, tidak ada bedanya dengan kita mewaspadai “globalisasi” sebagai pertarungan antara komunisme dan kapitalisme. Tetapi ada kekuatan trans-nasional yang berjubah agama, ini yang menjadi kewaspadaan kita.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Baru-baru ini PBB meratifikasi dan mengatakan bahwa kita harus melawan Islam-phobia. Nah, ini jangan disalah tafsir!? Bahwa ketika kita mengkritik gerakan-gerakan trans-nasional itu dianggap kita Islam-Phobia. Karena sesungguhnya, apa sih itu Islam-phobia? Mari kita lihat dulu, Islam. Nilai-nilai Islam itukan mulia? Masakan kita mewaspadai sesuatu yang sifatnya mulia? Masak kita mewaspadai sesuatu yang nilainya luhur? Tetapi, sesungguhnya kita dikait-kaitkan dengan Islam-phobia, karena apa? Yaitu, karena kita menentang, yang namanya terrorism, karena kita menentang yang namanya sectarianism. Karena itu, kita serta merta dicap Islam-phobia dan harus kita lawan. Bagi kita, jelas tidak pantas untuk takut dengan sesuatu yang nilainya mulia dan nilainya luhur, tetapi aparat negara harus tegas bahwa kekuatan-kekuatan trans-nasional yang berlindung di balik jubah agama berani kita katakan itu bukan Indonesia. Karena, Indonesia adalah sebuah pakta sejarah untuk hidup berdampingan secara terhormat dan damai. Itulah Indonesia. Kalau bukan ini yang dipraktikkan, maka ini bukan Indonesia lagi. Sehingga, kita perlu juga melihat spirit sejarah yang pernah ditunjukkan oleh para Kiai dan para santrinya, yang dinamai Resolusi Jihad. Hari ini kita tidak perlu malu untuk menyatakan serta menyatukan diri kita dengan gelora-gempitanya metamorfosa resolusi jihad tersebut, karena sampai hari ini para Kyai tetap konsisten untuk melawan segala sesuatu yang itu bukan Indonesia.

Terakhir, bahwa masa depan bangsa ini sangat ditentukan oleh siapa yang menjadi presiden, meskipun partisipasi publik tetap kita harapkan, kenapa? Karena dalam konteks ideologi, yang diterjemahkan ke dalam pranata-pranata hukum, posisi presiden jika kita melihat sejarah pada tahun 1959 pernah terjadi lahir Dekrit saat terjadi kebuntuan-kebuntuan dan terancam terjadinya kekosongan konstitusi. Hal ini tidak bisa lagi terjadi, Sehingga pemilihan umum 2024 ke depan dibutuhkan kecermatan kita untuk melihat para tokoh yang sedang beredar nama-namanya dalam ruang public. Mereka juga sudah terdeteksi dengan berbagai performance serta profil yang jelas. Pastinya bahwa kita semua sedang bernafsu untuk melahirkan siapa pemimpin, tetapi harapan kita, pemimpin yang akan datang adalah pemimpin yang semangat kebangsaannya telah teruji dan dialah Indonesia itu sendiri, tidak dalam artian ras tetapi terkait konsep kesepakatan bangsa kita. Kita mengharapkan pemimpin masa depan Indonesia adalah pemimpin yang mengembangkan semangat: Aku adalah Engkau dan Engkau adalah Aku. Serta tidak terjebak pada pendekatan, tirani minoritas dan dominasi mayoritas.

Terkait dengan pembersihan lembaga-lembaga negara itu mesti dilakukan, karena kemungkinan penyusupan terjadi di sana. Mengapa, karena beberapa kinerja atas Lembaga-lembaga negara terkait dengan kasus-kasus mutakhir, misalnya terkait dengan penistaan agama, yang terjadi terakhir ini. Pada kasus penistaan agama berupa hujatan atas ajaran agama tertentu yang menyakitkan sekali, justru muncul tuntutan dengan ancaman hukuman hanya enam bulan penjara saja. Sementara, kasus yang lain, misalnya kasus keluhan orang atas penggunaan TOA untuk kumandangkan resital agama tertentu, hukumannya adalah 9 bulan. Ini yang mengherankan, antara yang menghujat dan yang mengeluh, justru yang mengeluh yang diancam hukuman lebih berat. Sehingga ini bisa memicu spekulasi atau pendapat liar yang pada ujung-ujungnya melemahkan posisi negara di hadapan rakyat. Karena itu tindakan tegas pembersihan lembaga-lembaga negara itu penting, karena apabila tidak, akan melahirkan kelesuan orang terkait semangat bernegara. Ini juga menjadi tanda bahwa kelompok-kelompok tertentu itu sudah masuk ke semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sampai terjadi Muhammad Kace bisa dihukum 10 tahun, ketimbang seorang Yahya Waloni yang berulang-ulang melakukan pelecehan terhadap kekristenan, tapi ya dihukum cuma hanya enam bulan. Ada lagi tokoh yang mengatakan bahwa “…di salib ada jin…” tetapi tidak dituntut. Terus, ada lagi yang mengatakan, “…masak Tuhan diperanakkan, siapa bidannya?…” Nah semua kenyataan ini akan melahirkan tiga hal: Pertama, kelesuan semangat bernegara; Kedua, krisis kepercayaan terhadap negara, Ketiga, adalah Tindakan putus asa, di antaranya dengan mengobarkan semangat sepatisme.

Report:Rooney

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *